Terlalu banyak salam di Indonesia

blogger templates
Sabtu malam, 12 Oktober 2013, Menteri Pemuda dan Olahraga membuka kejuaraan tinju di Surabaya. Tinjunya sendiri sih kurang menarik. Bagi saya, yang menarik justru salam yang dipakai Menteri Roy di awal sambutannya.

Pak Roy mulai dengan ASSALAMUALAIKUM... salam khas umat Islam yang sudah lama jadi salam resmi di acara-acara formal.

Kedua, Pak Menteri mengucapkan SALAM SEJAHTERA BAGI KITA SEMUA.

Seharusnya, menurut saya, bunyinya SALAM SEJAHTERA UNTUK SAUDARA SEKALIAN. Aneh, orang menyampaikan salam untuk dirinya sendiri. Tapi SALAM SEJAHTERA UNTUK KITA SEMUA sudah jadi salah kaprah di lingkungan pemerintahan.

Ketiga, kalau tidak salah ingat, SELAMAT MALAM.

Keempat, OM SWASTI ASTU. Salam khas orang Bali yang beragama Hindu. Padahal kejuaraan diadakan di GOR Brawijaya Surabaya yang tak ada orang Balinya.

 Kelima, SYALOM khas Kristen Protestan, khususnya gereja-gereja aliran Karismatik dan Pentakosta.

Saya yang berasal dari kawasan Flores, yang mayoritas Katolik, seumur hidup tidak pernah mendengar pastor mengucapkan SYALOM di gereja. Salam di lingkungan Katolik di Indonesia sangat netral: SELAMAT PAGI, SELAMAT SIANG, SELAMAT SORE, SELAMAT MALAM. Khusus di Flores, selamat siang diganti SELAMAT TENGAH HARI.

Karena itu, ketika berada di Jawa Timur atau Jakarta, saya sering kagok mendengar orang Protestan/Pentakosta/Karismatik/Evangelical terlampau sering menyebut SYALOM SYALOM SYALOM SYALOM. Syalomisasi ini juga menular ke komunitas karismatik Katolik.

Kembali ke salamnya Menteri Roy Suryo yang banyak itu. Apakah salam khas semua agama di Indonesia perlu dimunculkan? Agar adil? Agar tidak ada komunitas agama/suku yang tidak merasa ditinggalkan?

Lantas, mana salam untuk umat Konghucu yang populasinya cukup banyak di Surabaya? Komunitas Tionghoa yang punya kampung pecinan di Surabaya sejak zaman Belanda? Umat Buddha dengan salam NAMO BUDAYA? Mana salam untuk Sapto Darmo atau kelompok Kejawen yang cukup banyak itu? 

Lah, kalau semua mau dituruti mungkin perlu lima menit untuk unjuk salam. Sementara pidatonya sendiri mungkin hanya tiga menit.

Buat saya, salam di awal pidato atau kata sambutan itu cukup SATU KALI. Cukup Assalamualaikum Wr Wb. 

Kalau pejabat muslim mau menambah dengan kalimat pujian sesuai agamanya, silakan. Tidak perlu terlalu banyak salam karena pendengar yang bukan Islam pun (seperti saya) menyadari bahwa salam berbahasa Arab itu ditujukan kepda semua orang. Bukan hanya untuk orang Islam saja.

Maka, warga nonmuslim seperti saya pun wajib menjawabnya: Walaikumsalam.... Toh semua orang Indonesia sudah paham arti assalamualaikum itu.

Awal Mei 2013 di Sidoarjo, ketua RT di Pondok Jati, yang Islam, memberikan kata sambutan menjelang pemakaman Patricia, yang beragama Katolik. Upacara secara Katolik dihadiri ratusan guru dan siswa Sekolah Petra yang sudah pasti hampir semuanya Protestan. Mendiang Patricia yang ayahnya orang Flores itu memang guru bahasa Inggris di Petra Surabaya.

Pak RT itu menyampaikan salam dengan tegas ASSALAMUALAIKUM.... Dan jemaat kristiani itu menjawab dengan tegas pula WALAIKUM SALAM. Hanya satu salam itu. Tak ada SYALOM atau SALAM SEJAHTERA dan sebagainya.

Seharusnya, menurut saya, seperti itulah. Pak RT tahu bahwa hampir semua jemaat bukan Islam. Tapi beliau juga tahu salam itu universal, bahkan sudah jadi salam nasional. Di kampung saya yang hampir semuanya Katolik, warga asyik saja bila orang Islam memulai sambutan dengan assalamualakum.

Belum lama ini saya pun berbicara di depan pelajar SMA Al Islam Krian, Sidoarjo. Ini sekolah swasta Islam yang terkenal di kawasan Krian dan Mojokerto. Muridnya 100 persen Islam.

Saya pun dengan tegas memberi salam ASSALAMUALAIKUM.... Dan para peserta pelatihan jurnalistik itu pun menjawab dengan tegas. Jangan-jangan para siswi itu (hanya dua siswa) tidak tahu kalau saya bukan muslim? Hehehe....

Indonesia ini memang beda dengan Amerika, Eropa, atau Tiongkok yang punya salam pembukaan yang netral. Orang Indonesia lebih senang membawa salam khas agamanya ke depan publik. Bahkan kefasihan logat bahasa Arab sering dijadikan ukuran kadar keislaman seseorang.


Saya terkesan dengan Hamdan Zoelva, wakil ketua Mahkamah Konstitusi. Kita tahu, Pak Hamdan ini berlatar belakang politikus Partai Bulan Bintang. Partai yang sejak dulu gencar memperjuangkan formalisasi syariat Islam di Indonesia. PBB juga punya hubungan erat dengan Dewan Dakwah Islamiyah yang juga kita kenal sangat konservatif paham keislamannya.

Tapi, yang menarik, setiap kali jumpa pers tentang perkembangan yang terjadi di MK, Hamdan Zoelva selalu mengatakan selamat pagi, selamat siang, selama sore, selamat malam. Tidak pakai assalamualaikum. Barangkali saja hakim konstitusi kita ingin menjaga kenetralan sebagai pengawal konstitusi.

Sent from my BlackBerry® via Smartfren EVDO Network

0 Response to "Terlalu banyak salam di Indonesia"

Posting Komentar