Teliti sebelum jabat tangan wanita

blogger templates
Jumat sore  (14/12), saya berbincang akrab dengan Mabel Garcia, guru musik, paduan suara, orkestra, sekaligus soprano jempolan asal Argentina, yang mengajar di Sekolah Ciputra Surabaya. Orangnya hangat, cerdas, asyik diajak ngobrol berlama-lama, apalagi untuk urusan musik klasik. Dunia terasa sangat indah ketika kita menikmati suara Bu Mabel yang tinggi melengking.

Dari Sekolah Ciputra, masih di Surabaya Barat yang elite, Citraland, saya tertarik melihat kursus bahasa Mandarin. Asyik juga kalau mampir. Bukankah selama ini saya banyak berkutat dengan liputan tentang Tionghoa? Maka, saya pun mampir ke tempat kursus itu.

Resepsionisnya Jawa, wanita, kira-kira 35 tahun, kelihatan ramah. Saya pun berbasa-basi seperti ketika berkunjung ke komunitas Tionghoa.

"Ni hao?" kata saya seraya menyorongkan tangan kanan, hendak menjabat tangan si resepsionis Zhong Wen itu.

Si wanita diam saja. Feeling saya pun tak enak. Pasti ada yang tidak beres. "Anda kan bukan muhrim saya! Jadi, tidak boleh jabat tangan saya!" kata wanita itu agak ketus.

"Maaf, Mbak, maaf... maaf," balas saya.

Mood saya yang sebelumnya gembira, asyik, setelah dapat energi dari wanita Argentina langsung anjlok seketika. Saya kemudian dikasih ceramah singkat tentang teologi: soal muhrim dan sebagainya. Wow, benar-benar di luar dugaan saya.

Sudah bertahun-tahun saya mengunjungi markas komunitas Tionghoa, sekolah Tionghoa, kursus bahasa Tionghoa, Masjid Cheng Hoo yang punya pengusaha muslim Tionghoa, dan berbagai tempat yang ada kaitannya dengan Tionghoa. Tapi baru kali ini saya mengalami 'kecelakaan' yang sama sekali di luar prediksi saya.

Melihat si wanita itu yang tak pakai jilbab, busana biasa, kerja di kursus Tionghoa, yang pakai guru-guru asal Tiongkok... saya sama sekali tidak mengira kalau bakal keluar kata-kata MUHRIM dan sejenisnya.

Beda kalau kita berada di komunitas PKS atau Hizbut Tahrir atau komunitas muslim tertentu yang memang sangat tegas melarang pria bersalaman dengan wanita yang bukan muhrim. Biasanya, seperti yang biasa saya alami, wanita-wanita itu pakai jilbab yang khas dengan bawahan yang juga bukan celana jins, tertutup hingga kaki. Itu sudah jelas tak boleh berjabat tangan atau bersentuhan badan.

Tapi si resepsionis ini? Hehehe.... Saya geli sendiri, tapi juga salah tingkah. Dan malu sendiri. Maka, mood bicara saya hilang. Saya pun minta pamit cepat-cepat meskipun tadinya ingin bicaranya lebih banyak.

Begitulah. Soal jabat tangan laki-perempuan ini memang kembali ke masing-masing individu dan keyakinan pribadi si wanita. Bisa berjabat tangan... atau ditolak seperti yang dilakukan resepsionis kursus bahasa Tionghoa itu.

Yang pakai jilbab, aktivis organisasi Islam tertentu, kadang-kadang malah jauh lebih moderat ketimbang wanita yang tak pakai jilbab, bahkan bekerja di lembaga yang jelas-jelas punya kultur dan religi khas ala Tiongkok. Meskipun sempat salah tingkah dan malu, saya bersyukur mendapat hikmah dari pengalaman sore itu.

Bahwa saya harus lebih hati-hati, teliti, bijaksana, tidak sok akrab... ketika hendak bersalaman dengan wanita yang belum saya kenal. Bisa dikuliahi dogmatika agama dan sebagainya.

Bahwa jabat tangan yang sering kita anggap sebagai simbol keakraban, kehangatan, bisa saja dipandang negatif oleh lawan jenis.

Bahwa lebih baik tidak menyorongkan tangan lebih dulu pada wanita yang belum saya kenal.

Bahwa saya harus paham dan maklum kalau banyak ulama berpendapat jabatan tangan laki-perempuan yang bukan muhrim itu haram hukumnya.

0 Response to "Teliti sebelum jabat tangan wanita"

Posting Komentar