Chang-Yau Hoon: Tionghoa Indonesia itu rumit

blogger templates

Masyarakat Tionghoa di Indonesia itu sangat heterogen. Meski sama-sama berasal dari leluhur dan kultur yang sama, orang Tionghoa di Surabaya berbeda dengan Jakarta, Medan, Pontianak, Padang, dan sebagainya.

Hal ini ditekankan Dr Chang-Yau Hoon, asisten profesor kajian Asia di Singapore Management University, Singapura, dalam bedah buku di Toko Buku Togamas Pucang, Surabaya, Jumat (22/2/2013). Mantan dosen University of Western Australia, ini sekaligus memperkenalkan buku barunya berjudul Identitas Tionghoa Pasca-Suharto.

Bedah buku yang diselenggarakan Center for Chinese Indonesian Studies (CCIS), Perpustakaan Universitas Kristen Petra, Yayasan Nabil, Toko Buku Petra Togamas, dan Perpustakaan C2O, ini juga menampilkan pembicara Sri Mastuti, dosen Universitas Negeri Surabaya, dan Dr Budiawan, dosen Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta.

Chang-Yau Hoon sendiri lahir di Sarawak, Malaysia, besar di Brunei Darussalam, kuliah di Australia, kemudian bekerja di Singapura. Sebagai orang Tionghoa, Hoon merasakan betapa peliknya identitas orang Tionghoa di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia.

"Tionghoa di Indonesia yang paling kompleks. Ada semacam krisis identitas di kalangan muda serta trauma politik yang luar biasa," papar Hoon dalam bahasa Indonesia yang fasih.

Menurut dia, upaya asimilasi etnis Tionghoa yang dilakukan rezim Orde baru selama tiga dekade sudah terbukti gagal. Dan, sejak reformasi 1998, Indonesia mulai memasuki era multikulturalisme. Etnis Tionghoa perlahan-lahan mulai menunjukkan identitas budayanya di hadapan publik. Seni budaya khas Tionghoa seperti barongsai, liang-liong, perayaan tahun baru Imlek sangat marak di berbagai daerah.

Meski begitu, Chang-Yau Hoon melihat ada beragam kepentingan dan agenda di kalangan masyarakat Tionghoa sendiri. Ini terlihat dari banyaknya organisasi, perkumpulan, paguyuban, yang marak setelah kejatuhan Presiden Soeharto.

"Tionghoa yang totok dan peranakan punya perbedaan. Tionghoa yang muda dan tua kurang sejalan. Belum lagi perbedaan agama di kalangan Tionghoa," katanya serius.

Bahkan, menurut Hoon, di kalangan totok sendiri pun masih terdapat perbedaan dialek dan asal-usul leluhur. Mereka ingin eksis, ingin bersuara, sehingga membentuk kelompok sendiri-sendiri. "Politik representasi itu yang menonjol di era reformasi," sebutnya.

Dalam perjalanan waktu, menurut Hoon, banyak organisasi Tionghoa yang redup atau kehilangan suara karena tak punya modal. Maka, kelompok yang eksis hanyalah organisasi yang didukung para pemilik modal besar.

"Apakah suara mereka itu bisa dianggap mewakili kepentingan seluruh masyarakat Tionghoa? Ini yang masih menjadi masalah besar di Indonesia," katanya.

0 Response to "Chang-Yau Hoon: Tionghoa Indonesia itu rumit"

Posting Komentar