Di usia 67 tahun, Musafir Isfanhari masih sibuk mengajar musik, melatih paduan suara, memberi pelatihan musik kerocong, menjadi juri lomba paduan suara hingga karaoke di Surabaya. Aktivitas permusikan seperti ini membuatnya bahagia menikmati masa pensiun.
Berikut petikan percakapan dengan Musafir Isfanhari:
Sebagai musisi, komposer, dan guru musik, bagaimana Anda melihat apresiasi masyarakat terhadap musik di Indonesia, khususnya Jawa Timur?
Begini. Indonesia ini sangat pekat dengan feodalisme. Dan feodalisme itu pada akhirnya menjadikan cara pandang masyarakat Indonesia tentang sebuah musik sudah terkotak-kotak dan tersekat-sekat.
Maksudnya?
Seperti musik keroncong dicap sebagai musiknya orang tua. Dangdut musik orang kelas bawah. Jazz musik para mahasiswa yang status ekonominya berkecukupan dan musik orang elite. Musik klasik untuk orang yang aristokrat. Pengotakan-pengotakan tersebut yang membuat musik di Indonesia tidak bisa berkembang.
Sebetulnya, ketika musik-musik tersebut diciptakan sang komposer, tidak ada tujuan bahwa musik dangdut adalah musiknya tukang becak, musik jazz adalah musiknya mahasiswa, musik klasik adalah musiknya aristokrat. Jadi, siapa pun boleh menikmati atau menggemari musik apa pun. Tukang becak boleh-boleh saja mendendangkan jazz. Musik dangdut sah-sah saja didengarkan oleh para mahasiswa dan eksekutif muda. Mengapa harus disekat-sekat dan dikotak-kotakkan?
Anda punya pengalaman tentang budaya feodalisme ini?
Suatu ketika saya mengajar di rumah seorang siswa yang orang tuanya berkecukupan. Di rumah itu terdapat piano yang harganya mencapai Rp 60 juta. Saya mencoba memainkannya. Nah, ketika membuka selubung piano itu, tampak debu yang sangat tebal melingkupi piano tersebut. Saya bertanya siapa yang biasa main piano ini. Dijawab, tidak ada yang main.
Inilah gambaran kondisi masyarakat kita yang belum paham betul akan arti pentingnya musik. Piano yang mahal itu sebagai simbol dan status sosial saja. Gambaran sebuah kehidupan yang artifisial, tidak otentik.
Anda juga dikenal concern dengan musik keroncong. Bagaimana perkembangan musik keroncong saat ini?
Jelas kalah jauh dibanding jenis musik lain seperti jazz, dangdut, pop, R&B, rock. Musik keroncong yang lembut dianggap kurang menghentakkan jiwa kaum muda. Kejernihan keroncong tak sejernih musik klasik, kata sebagian masyarakat. Keroncong menjadi musik yang nanggung. Karena itu, musik keroncong butuh penyegaran, inovasi, dan kreativitas baru agar bisa bertahan.
Lantas, apa yang pernah Anda lakukan?
Tahun 2007, saya membuka pelatihan musik gratis bagi musisi keroncong di Surabaya dan sekitarnya. Gratis! Pelatihan ini murni idealisme demi memajukan musik keroncong. Saya memberikan materi ilmu musik untuk pengembangan skill. Para peserta diberi kebebasan untuk berkreasi dan mempraktikkan teori musik tersebut pada latihan-latihan di orkes-orkes keroncongnya sendiri. Namun, pelatihan tersebut hanya berlangsung selama empat bulan saja. Pesertanya semakin lama semakin berkurang hingga habis.
Mengapa tidak ada minat dari musisi keroncong?
Yah, ini memang kelemahan dari para musisi keroncong kita. Dalam pikirannya selalu terbersit setiap crong itu harus dapat duit. Hal itu tidak salah dan sah-sah saja. Namun, dibanding band-band besar seperti Nidji, Dewa 19, Noah, setiap kali mereka jrieng, mereka dapat duit. Tapi jangan lupa bahwa proses dari jrieng sampai menjadi dapat duit tersebut, mereka melalui proses yang dinamakan berlatih. Mereka juga mempunyai gaya sendiri dalam memainkan musiknya sendiri. Menemukan gaya dan corak merupakan pilihan sebuah group musik.
Bagaimana Anda melihat kualitas pemusik keroncong kita?
Dari segi kemampuan bermusik atau skill sangat bagus. Tapi pengetahuan musiknya sangat kurang. Setiap orkes keroncong pun dituntut untuk secara kreatif dan inovatif menemukan gaya dan coraak sendiri, meski tetap dalam jalur keroncong. Nah, misi dari pelatihan yang saya berikan itu adalah membuka wawasan bermusik para musisi keroncong. Jika sudah terbuka, silakan berkreasi sekreatif mungkin.
Mengapa musik dangdut berkembang pesat, padahal skill pemusiknya pun tidak istimewa?
Jangan lupa, dangdut itu punya Rhoma Irama. Dulu Rhoma Irama itu musisi rock, tapi kemudian terjun ke dangdut. Dia mencoba meramu musik dangdut dengan musik rock. Musik dangdut tetap dangdut, tetapi dengan kemasan yang baru.
Nah, pada tahun 1970-an itu dangdut itu disepelekan sebagai musik kampungan, musiknya pemabuk, dan lain lain yang citranya negatif. Rhoma berhasil mengangkat citra musik dangdut sehingga menjadi sangat populer seperti sekarang.
Coba lihat sekarang, siapa yang tidak suka musik dangdut? Sekarang dangdut jadi sumber uang yang luar biasa. Rock masih kalah. Kunci sukses Rhoma Irama itu berasal dari ketekunannya menjaga image dangdut jangan sampai jatuh dan semangatnya untuk selalu memperbaharui musik dangdut secara terus-menerus.
Rupanya, keroncong tidak punya tokoh sekaliber Rhoma Irama di dangdut?
Betul. Keroncong membutuhkan ide-ide segar dan pembaharuan seperti yang dilakukan Rhoma Irama untuk musik dangdut. Keroncong yang kita dengarkan saat ini adalah hasil evolusi musik dari zaman dulu. Bentukan musik keroncong tentulah tidak sama persis dengan musik keroncong zaman dulu. Jadi, jangan takut untuk berkreasi dan melakukan revolusi musik. Keroncong harus mengikuti perkembangan zaman, lebih menampilkan kreativitas yang segar agar mendapat tempat di generasi muda. (lambertus hurek)
Musik Religi untuk Taman Bungkul
Meski lahir di Malang Musafir Isfanhari ikut mendalami sejarah lokal Kota Surabaya. Salah satu yang dibahas ayah tiga anak ini adalah Taman Bungkul, tempat ziarah islami, yang kini dilengkapi dengan taman kota yang indah.
Menurut Isfanhari, wilayah Bungkul dibuka sekitar 700 tahun lalu oleh Ki Ageng Supo alias Syech Mahmuddin sekitar 700 tahun silam. Ki Ageng Supo, bangsawan Majapahit, itulah yang akhirnya disebut Sunan Bungkul atau Mbah Bungkul. "Beliau kemudian dimakamkan di situ," ujar Isfanhari.
Menilik catatan sejarah yang ada, menurut dia, sejak dulu wilayah Bungkul merupakan kawasan religi. Tempat para peziarah datang berkunjung atau belajar agama pada Bungkul sana. Konon, Sunan Ampel pernah berkunjung ke sana. "Bahkan, sebuah sumber mengatakan bahwa Sunan Ampel menjadi menantu Sunan Bungkul," tutur pria yang ramah ini.
Waktu berganti, zaman pun berubah. Bungkul yang mulanya hutan lebat, gung liwang liwung, adoh lor adoh kidul, akhirnya menjadi daerah yang ramai. Kemudian menjadi kawasan elite Kota Surabaya dengan Jalan Raya Darmo yang terkenal itu. Namun, Taman Bungkul masih dijadikan jujukan para peziarah dari berbagai daerah di Jawa Timur. Taman Bungkul kemudian ditata ulang menjadi ruang terbuka hijau dengan taman yang bagus.
"Rencana awalnya, penataan ulang dimaksudkan untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat. Jika ada peziarah datang ke makam Mbah Bungkul, mereka bisa beristirahat dan rekreasi di ruang terbuka dan hijau di kawasan Bungkul tersebut," ujarnya.
Hingga kemudian muncul polemik, bahkan DPRD Surabaya meminta agar tidak boleh ada pergelaran musik di kompleks Taman Bungkul. Guru musik yang kerap memberikan kultum ini pun terkejut. Menurut Isfanhari, sebetulnya banyak musik yang baik yang justru membuat seseorang makin dekat dengan Tuhan.
Dia menyebut contoh lagu-lagu Bimbo dengan syair religius seperti Sajadah panjang, Rindu Rasul, Ada anak Bertanya pada Bapaknya. Lagu-lagu yang ditulis Trio Bimbo bersama penyair Taufiq Ismail pada 1970-an itu masih populer sampai sekarang.
Di Surabaya juga banyak grup samroh (kasidah) bermutu dan berprestasi. Juga grup-gup Nasyid, jenis musik Islami masa kini, semisal Fatwa Voice, Revha Voice, Lentera Voice, White Voice, dan Alkhafinita. "Lagunya, pesan syairnya, aransemen musiknya, maupun tampilan busananya sangat islami," katanya.
Musik-musik religius seperti ini, menurut Isfanhari, justru perlu diberi peluang untuk tampil di Taman Bungkul. Jadi, tidak semua musik dilarang ditampilkan. (*)
0 Response to "Musafir Isfanhari Pengabdi Musik di Surabaya"
Posting Komentar