Nama sebagai Kata Ganti Orang Pertama

blogger templates
SAYA mau tamasya berkliling-kliling kota
Hendak melihat-lihat keramaian yang ada
SAYA panggilkan becak kereta tak berkuda
Becak becak coba bawa SAYA 

SAYA duduk sendiri dengan mengangkat kaki
Melihat dengan aksi ke kanan dan ke kiri
Lihat becakKU lari bagai takkan berhenti
Becak becak jalan hati-hati


Lagu BECAK ciptaan Ibu Sud, 1942


Vitalia Shesya, yang dikabarkan dekat dengan Ahmad Fathanah, jelas bukan anak-anak atau remaja belasan tahun. Tapi di televisi, TVOne, model ini selalu menyebut namanya, Vita, dan bukan menggunakan kata ganti orang pertama. Bukan hanya Vita, setiap hari kita menyaksikan sebagian besar artis kita juga punya gaya bahasa seperti itu.

“Vita sudah pakai uang itu untuk membeli… Tapi Vita usahin kalo memang harus dikembaliin ke KPK. Vita gak nyangka kalo jadinya kayak gini,” kira-kira begitulah ucapan Vitalia Shesya.

Dari dulu saya cenderung alergi mendengar orang dewasa menggunakan namanya, bukan kata ganti orang pertama. Bukan apa-apa. Guru bahasa Indonesia saya di sebuah SMP Katolik di Larantuka, Flores Timur, dulu sangat tegas dalam mengoreksi kalimat murid-muridnya.

“Pakai SAYA, bukan namamu!” kata Pak Aldo dengan nada tinggi. “Boleh pakai AKU untuk teman-teman sebaya, orang yang akrab, tapi jangan untuk orang yang lebih tua. BETA hanya cocok untuk bahasa percakapan logat Kupang.”

Inilah pelajaran dasar kata ganti orang alias PRONOMINA PERSONA tingkat SMP. Bahasa Nagi atau Melayu Larantuka, yang jad bahasa persatuan di Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Lembata, NTT, tidak mengenal kata SAYA atau AKU atau BETA atau GUE untuk orang pertama. Orang Larantuka selalu pakai KITA meskipun untuk dirinya sendiri atau orang pertama tunggal.

Karena itulah, guru-guru bahasa Indonesia di Flores Timur, khususnya Pak Aldo ini, sangat keras mengoreksi kalimat murid-murid yang menggunakan kata KITA, KAMI, ANDA, dan sebagainya. Pelajar tidak boleh menyebut nama diri, tapi harus pakai kata ganti orang pertama.

“Vita sakit, Vita mau pulang,” kata-kata macam ini hanya akan jadi bahan tertawaan teman-teman sekelas saya di Flores Timur.

“Kamu seperti anak-anak saja. Sudah besar, tapi cara berbahasanya masih kekanak-kanakan,” kata Pak Aldo yang berasal dari Adonara Timur itu.

Kalau saya amati di televisi, juga di lingkungan pergaulan sehari-hari di Surabaya, Jakarta, Malang, dan kota-kota besar di Jawa, banyak sekali orang dewasa seperti Vita yang selalu menggunakan namanya, tidak memakai SAYA, AKU, GUE, dan sebagainya. Mirip gaya bahasa anak-anak. Hanya anak-anak yang dibenarkan menggunakan namanya karena memang belum mengenal kata ganti orang atau pronomina persona.

Majalah AYAH BUNDA, majalah untuk ibu muda dan sang suami yang masih mengurus bayi dan anak-anak, pun sering membahas persoalan ini. Salah satu artikel menarik di AYAH BUNDA berjudul: Melatih Balita Menggunakan Kata Ganti Orang. Jadi, pelajaran bahasa Indonesia tentang kata ganti orang memang sebaiknya dimulai sejak balita.

Di Flores tidak bisa karena bahasa Indonesia baru mulai dikuasai (itu pun masih jauh bangun) sejak SMP. Kalah jauh dengan anak-anak Tionghoa di Surabaya yang sejak balita sudah diajari bahasa Indonesia, Jawa, Tionghoa, Inggris, dan entah bahasa apa lagi. Saya sendiri baru bisa berbahasa Indonesia setelah berusia 14 tahun. Itu pun gado-gado dengan Melayu Larantuka alias bahasa Nagi.

Majalah AYAH BUNDA menulis:

Buah hati Anda tiba-tiba menyebut Bunda dan Ayah dengan kata KAMU. Ia juga sudah tak lagi menyebut nama diri sebagai kata ganti SAYA. Jangan kaget,  ini pertanda salah satu ciri perkembangan bahasa yang baik. Latih dia menggunakannya dengan tepat.”

Kembali ke Vita si model cantik. Mengapa dia masih tetap bergaya bahasa Indonesia ala anak-anak (balita) di forum diskusi formal di televisi yang disiarkan ke seluruh Indonesia?

Ada beberapa kemungkinan:

1. Pelajaran bahasa Indonesia yang diterima Vita di SD, SMP, SMA  kurang bermutu. Topik kata ganti orang pertama dianggap sepele.

2. Guru bahasa Indonesianya tidak sempat mengoreksi kalimat-kalimat muridnya. Mungkin terlalu sibuk atau cuek bebek.

3. Ayah bundanya membiarkan Vita tetap bermanja-manja dengan nama dirinya.

4. Kecerdasan bahasa si Vita memang  kurang. Sudah tua tapi masih tetap merasa bak anak kecil.

5. Menganggap remeh bahasa Indonesia.

0 Response to "Nama sebagai Kata Ganti Orang Pertama"

Posting Komentar