Isu SARA di Pilgub NTT Tak Relevan

blogger templates

KATOLIK vs PTOTESTAN: Frans Lebu Raya (kiri) vs Esthon Foenay. 


Pemilihan gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) putaran kedua direncanakan berlangsung pada 15 Mei 2013. Gubernur dan wakil gubernur sekarang, Frans Lebu Raya dan Esthon Foenay, pecah kongsi dan harus bertarung di putaran kedua. Pasangan Frans Lebu Raya-Benny Alexander Litelnony atau Frenly berhadapan dengan Esthon Foenay–Paul Edmundus Tallo alias Esthon-Paul.

Dibandingkan pilgub NTT lima tahun lalu, pilgub kali ini kurang begitu menarik. Setidaknya untuk warga NTT di luar NTT alias diaspora yang tersebar di Jawa, Kalimantan, Malaysia, Sulawesi, dan sebagainya. Sebab, tidak ada tokoh baru yang benar-benar fenomenal macam Jokowi-Ahok di Jakarta. Frans dan Esthon ini orang lama yang kinerjanya sudah bisa diketahui semua orang NTT.

Menjelang pilgub putaran pertama, saya melihat langsung di Lembata suasana adem ayem aja. Warga bahkan tidak tahu siapa saja yang bakal maju. Hanya ada satu dua spanduk Frans Lebu Raya di pinggir jalan raya dekat makam kampung Bungamuda, Ileape, Lembata. Gubernur Frans sebagai inkumben memang sudah lama promosi kalau tidak dibilang curi start kampanye. Ada program Anggur Merah dan kampanye susupan lewat mesin birokrasi.

Esthon Foenay memang wagub NTT sekarang, tapi rakyat di kampung tidak begitu kenal. Mereka hanya tahu Pak Frans, gubernur sekarang, karena kebetulan beliau berasal dari Adonara Timur, Kabupaten Flores Timur, yang sama-sama etnis Lamaholot. Sama-sama ata kiwan (orang kampung) yang bahasa ibunya bahasa Lamaholot. Kesamaan etnis dan agama harus diakui menjadi kelebihan Frans di bumi Lamaholot dan Flores umumnya.

"Daripada memilih orang lain, mengapa kita tidak memilih orang kita?" kata beberapa tokoh di Lembata.

"Bagaimana kalau orang kita itu prestasinya kurang bagus?" tanya saya.

"Memangnya Pak Esthon punya prestasi apa? Kan beliau itu wakilnya Pak Frans? Memangnya ada jaminan Pak Esthon akan lebih bagus kalau nanti jadi gubernur?" protes orang kampung yang rupanya pendukung berat Ama Frans, ata Lamaholot.

Hehehe.... Saya hanya bisa tertawa kecil. Sejak dulu memang tidak pernah ada jaminan bahwa seorang gubernur NTT bisa memajukan provinsinya. Begitu banyak gubernur mulai Lalamentik pada 1958, kemudian El Tari, Ben Mboi, Hendrik Fernandez, dan seterusnya. Tapi kenyataannya sampai sekarang NTT "masih seperti yang dulu", kata Dian Piesesha, penyanyi pop melankolis yang digandrungi orang NTT.

Jalan raya di Lembata tetap saja berlubang-lubang sejak 40-an tahun lalu. Dan politikus-politikus di Kupang macam Frans, Esthon, Benny Harman, Ibrahim, dan sebagainya tidak pernah merasakan jalan-jalan rusak di pelosok NTT. Begitu mau maju sebagai calon gubernur dan calon wakil gubernur, mereka-mereka ini baru mau turun ke pasar, kampung, terlihat merakyat. Virus pencitraan ala politisi Jakarta memang ikut menyebar di NTT.

Menjelang pilgub putaran kedua, isu SARA mencuat ke permukaan. Jadi bahan jualan kecap politik. Frans Lebu Raya Katolik, Adonara (Flores Timur); sementara Esthon Foenay sudah jelas Protestan, etnis Timor. Dari dulu isu Katolik vs Protestan, Flores vs Timor, memang selalu muncul. Bahkan, sebetulnya isu ini sengaja diciptakan para politisi NTT ketika gubernur masih dipilih oleh DPRD. Isu SARA macam ini sebetulnya makin lama makin kurang laku, dan hanya menunjukkan kelemahan sang politikus.

Contoh paling jelas adalah isu SARA menjelang pemilihan bupati Lembata putaran kedua. Para politisi dan tim suksesnya berusaha menghadang Yance Sunur dengan isu SARA karena Baba Yance ini memang keturunan Tionghoa. Kekatolikannya pun sempat dipertanyakan, katanya beliau ini jemaat Gereja Advent atau Gereja Pentakosta. Apa yang terjadi? Yance Sunur justru terpilih sebagai bupati Lembata. Yance jadi bupati Tionghoa pertama d NTT.

Yang paling gres bisa dilihat dalam pilgub DKI Jakarta. Ada kampanye sistematis, termasuk dari Rhoma Irama, raja dangdut, menghantam pasangan Jokowi-Ahok. Alasannya: Ahok beragama Kristen Protestan, Tionghoa, lahir di Belitung Timur. "Jangan pilih calon yang bukan Islam," kata Rhoma Irama yang memang juru kampanye Fauzi Bowo, calon petahana alias inkumben.

Hasilnya sudah terang benderang: Jokowi-Ahok yang terpilih. Warga sekarang sudah sangat cerdas. Isu SARA makin tidak laku di Indonesia, kecuali barangkali di Aceh atau Sumatera Barat.

Sebelum di Jakarta, yang lebih menarik adalah pemilihan gubernur Kalimantan Barat. Sangat fenomenal karena Cornelis yang Katolik (minoritas) yang dipercaya sebagai gubernur. Wakilnya pun Christiandy Sanjaya, yang Tionghoa. Padahal, penduduk Kalimantan Barat itu mayoritas beragama Islam.

Di negara yang makin demokratis, isu SARA perlahan-lahan akan mati karena tidak relevan dengan kesejahteraan rakyat. Presiden Taiwan Ma Ying-jeou beragama Katolik meskipun di Taiwan populasi umat Kristen (Katolik, Protestan, Pentakosta, dsb) tak sampai 1%. Orang melihat kompetensi, figur, kemampuannya untuk memimpin rakyatnya menghadapi berbagai tantangan hidup.

Orang NTT yang sederhana di kampung-kampung hanya ingin pemimpin yang bisa membawa NTT menjadi provinsi yang lebih maju. Bukan provinsi paling tertinggal di Indonesia. Bukan provinsi yang sebagian besar rakyatnya merantau, kabur ke Malaysia Timur, karena tak bisa cari uang di kampung halamannya sendiri.

0 Response to "Isu SARA di Pilgub NTT Tak Relevan"

Posting Komentar