Umat Kelenteng Sam Poo Tay Djien, Jalan Demak 380 Surabaya, masih setia melestarikan tradisi ritual setiap malam Jumat Legi. Ini terlihat dari banyaknya pengunjung yang mendatangi kelenteng yang populer dengan sebutan Mbah Ratu itu. Bahkan, hingga siang kemarin masih didatangi pengunjung baik dari dalam dan maupun luar Kota Surabaya.
"Namanya juga tradisi, ya, kita berusaha melestarikannya. Ada umat yang syukuran, sembahyang biasa, ada juga pengunjung yang penasaran dengan kegiatan kami di sini. Kita selalu terbuka kok," kata Njoo Tjin Hwee, pengurus Kelenteng Sam Poo Tay Djien, usai sembahyang bersama, Kamis malam (11/4/2013).
Jumat Legi di Mbah Ratu merupakan akulturasi budaya Jawa oleh warga keturunan Tionghoa di Surabaya dan sekitarnya sejak ratusan tahun lalu. Para leluhur Tionghoa rutin mengadakan sembahyang, tumpengan, dan wayangan setiap Jumat Legi. Tradisi ini kemudian diikuti pula oleh masyarakat sekitar yang bukan Tionghoa.
Tjin Hwee mengaku gembira melihat interaksi budaya Tionghoa dan Jawa yang sangat harmonis. Betapa tidak. Meski jemaat beribadat dengan cara Tionghoa, acara syukuran sangat kental dengan budaya Jawa. Ini terlihat dari tumpengan yang diletakkan di depan altar Sam Poo Tay Djien (juga disebut Sam Poo Kong, Laksamana Cheng Hoo, atau Zheng He). Ada pula seorang modin Jawa yang memimpin ritual khas Legian hingga dini hari.
"Sekarang ini boleh dikata yang datang ke kelenteng sini setiap Jumat Legi separuh Tionghoa dan separuh Jawa. Itulah yang membuat Kelenteng Mbah Ratu ini sangat unik di Jawa Timur," katanya.
Sayang, pergelaran wayang kulit setiap malam Jumat Legi sudah lama tak terlihat di halaman Mbah Ratu. Vakumnya wayang kulit ini mulai terasa sejak krisis moneter menjelang reformasi 1998. Praktis, sejak tahun 2000 pengunjung tak bisa lagi menyaksikan wayang kulit usai mencoba ciamsi (peramalan nasib) sambil menikmati nasi tumpeng.
"Terus terang, mereka yang biasa nanggap wayang kulit sekarang kesulitan karena biayanya yang terlalu mahal. Kalau dulu nanggap wayang itu hanya sekitar Rp 5 juta, sekarang di atas Rp 12 juta," ujar Tjin Hwee seraya geleng-geleng kepala.
Selain kemahalan, menurut dia, dalang-dalang sekarang ini umumnya tidak mau menggelar pertunjukan sampai menjelang subuh layaknya tradisi Jumat Legi. Mereka hanya mau bermain hingga pukul 01.00, bahkan sudah lesu pada pukul 00.00. "Wayang kulit itu sangat penting, tapi kalau kondisinya seperti sekarang, ya, susah," tegasnya.
0 Response to "Mbah Ratu tanpa wayang kulit"
Posting Komentar