"Sekarang agak sepi, belum ada buku yang benar-benar nendang," kata Lia.
Tapi saya tetap saja memelototi rak sebelah utara: buku-buku agama. Hampir semuanya buku-buku tentang Islam, tapi ada juga Kristen, Buddha, dan Hindu. "Wow, ada buku misa zaman dulu. Unik juga," saya terkejut melihat buku tua yang terselip di rak utara.
"Harganya berapa?"
"Terserah sampean mau kasih berapa?"
Saya tahu buku kumuh macam itu memang tak punya harga. Mana ada orang mau membeli? Saya pun langsung memberi duit Rp 20.000 untuk si Lia. "Kembalinya berapa?" tanya Lia memancing.
"Nggak usahlah, ambil aja uangnya. Buku itu sangat bersejarah bagi orang Katolik di Indonesia," kata saya. Si Lia kaget setengah mati karena harga buku itu sebenarnya hanya Rp 5.000.
"Matur suwun ya, sering-sering ke sini," katanya berkali-kali mengucapkan terima kasih. Lumayan, Lia bisa menambung banyak hari itu karena duit yang disetor ke bosnya pasti cuma Rp 5.000. Hehehehe....
Buku misa tempo dulu itu berjudul SEMBAHJANG MISA HARI MINGGU DAN HARI RAJA terbitan 1958. Dicetak di Ende, Flores, buku 914 halaman ini disusun oleh dua pastor terkenal pada era 1950-an, yakni Pastor Wahjo OFM dan Pastor Bouma SVD. Imprimatur oleh A. Djajasepoetra SJ pada 7 Juli 1956, yang berarti buku ini disahkan penggunaannya untuk umat Katolik di Indonesia.
Bagi orang Katolik yang lahir di setelah 1970, seperti saya, buku SEMBAHJANG MISA ini benar-benar barang baru. Saya tidak pernah melihat sebelumnya karena setelah Konsili Vatikan II, 1965, terjadi perubahan besar dalam liturgi Gereja Katolik. Salah satunya penggunaan bahasa lokal dalam perayaan ekaristi alias misa. Misa tidak lagi menggunakan bahasa Latin, tapi bahasa Indonesia.
Karena itu, orang Katolik di Indonesia sekarang (kecuali beberapa gelintir orang) pasti kebingungan menjawab ketika pastor mengatakan SUMSUM CORDA. Apa ya jawabnya? Padahal, seruan ini harus dijawab HABEMUS AD DOMINUM. Sangat lazim bagi umat Katolik di Eropa atau orang tua zaman dulu.
Itulah yang antara lain ditulis Citra, mahasiswi S3 di Taipei, Taiwan, ketika ikut misa Pekan Suci di Kedutaan Besar Vatikan pada 29 Maret 2013 lalu. Karena memang hampir tak pernah ada lagi misa berbahasa Latin dalam 40 tahun terakhir. Yang populer di Jawa justru misa dalam bahasa Jawa, khususnya di Jogjakarta dan Jawa Tengah. Atau, misa bahasa Jawa di Puhsarang, Kediri, Jawa Timur.
Nah, BUKU SEMBAHJANG MISA versi 1958 ini tak lain TPE atau Tata Perayaan Ekaristi sebelum Konsili Vatikan II. Dus, misa menggunakan bahasa Latin, bahasa resmi Gereja Katolik sedunia. Imam atau romo yang memimpin misa membelakangi umat, tidak menghadap umat macam sekarang. Komuni diterima dengan mulut, bukan dengan tangan. Dan sejumlah syarat lain seperti berpuasa jika akan menyambut komuni.
Buku ini sangat detail memuat teks misa bahasa Latin di kolom kiri dan terjemahan bahasa Indonesia di kolom kanan. Karena itu, meski umat tidak paham bahasa Latin, dia tahu artinya dalam bahasa Indonesia.
Contoh:
CONFITEOR DEO OMNIPOTENTI
BEATAE MARIAE SEMPER VIRGINI...
Diterjemahkan menjadi:
AKU MENGAKU KEPADA ALLAH JANG MAHAKUASA,
KEPADA SANTA MARIA TETAP PERAWAN.....
Versi yang berlaku di Indonesia sekarang:
SAYA MENGAKU KEPADA ALLAH YANG MAHAKUASA
DAN KEPADA SAUDARA SEKALIAN
BAHWA SAYA TELAH BERDOSA.....
Versi misa bahasa Jawa:
KAWULA NGAKENI INGARSAING ALLAH
INGKANG MAHAKUWASA
TUWIN PARA SADHEREK SADAYA
BILIH KAWULA SAMPUN NGLAMPAHI DOSA ........
Kalau saya cermati, teks misa pra-Konsili Vatikan II ini secara umum hampir sama dengan teks misa bahasa Indonesia yang kita pakai selama ini. Hanya saja, misa yang kita pakai sekarang jauh lebih sederhana ketimbang versi Latin ini.
Betapa tidak. Buku MADAH BAKTI atau PUJI SYUKUR yang dipakai di seluruh Indonesia itu sebagian besar berisi nyanyian liturgi, dan hanya sedikit (sisipan di tengah) yang memuat teks misa alias tata perayaan ekaristi.
Sebaliknya, buku SEMBAHJANG MISA (1958) ini 100 persen tata perayaan ekaristi atau buku misa. Sama sekali tidak ada nyanyiannya. Karena itu, saya menduga pada tahun 1960-an umat membawa dua buku setiap kali ke gereja: buku SEMBAHJANG MISA dan buku nyanyian. Atau, sama sekali tidak membawa buku apa pun. Sehingga, sering ada kritik bahwa zaman dulu umat Katolik di Indonesia asyik sendiri mendaraskan doa rosario ketika imam mempersembahkan kurban misa di altar.
Saya tidak pernah melihat buku SEMBAHJANG MISA ini di Flores Timur, khususnya di Larantuka atau kampung halaman saya di Lembata. Bahkan, kebiasaan membawa buku misa ke gereja tidak populer di Flores, khususnya desa-desa, sebelum tahun 2000. Itu pula yang menyebabkan orang Katolik di kampung saya hanya mengandalkan ingatan ketika menyanyi atau menjawab seruan pastor selama misa berlangsung.
Gara-gara mengandalkan ingatan, tidak pernah lihat notasi atau partitur, banyak lagu liturgi (gerejawi) yang nada-nadanya meleset, salah kaprah, sampai hari ini. Sulit sekali membetulkan nada-nada kromatis seperti Fis atau Bes yang sudah telanjur dinyanyikan sebagai F atau B.
Di Surabaya sendiri, dalam beberapa tahun terakhir ada sejumlah aktivis liturgi, seperti Pak Albert Wibisono, yang berusaha mempopulerkan lagi MISA TRIDENTINA yang berbahasa Latin. Cukup banyak umat yang penasaran dan ingin merasakan nuansa tempo doeloe ketika bahasa Latin masih menjadi bahasa resmi dalam perayaan ekaristi. Ini juga tak lepas dari figur Paus Benediktus XVI yang dikenal sebagai Paus yang sangat cinta liturgi nan indah ala Misa Tridentina.
Saya sih netral. Misa dalam bahasa Indonesia, Jawa, Inggris, Latin, oke-oke saja. Yang susah adalah misa dalam bahasa Mandarin karena bahasanya yang terlalu sulit, punya banyak nada yang membedakan arti. Tapi saya selalu terkesan mengikuti siaran langsung misa yang dipimpin Sri Paus dari Vatikan yang menggunakan bahasa Latin.
0 Response to "Mengenang Misa Bahasa Latin Era 1960-an"
Posting Komentar