Minggu pagi 2 September 2012 saya nongkrong di depan Sanggar Agung, kelenteng terkenal di Kenjeran Surabaya. Menikmati kelapa muda. Saya perhatikan penjual burung pekan di depan pintu masuk kelenteng.
Burung-burung kecil itu dijual seekor Rp 1.000. Pembelinya ya umat kelenteng yang melakukan upacara fangsen: melepas satwa ke habitatnya di alam bebas. Sesuai bunyi doa: semoga semua makhluk berbahagia!
Meski bukan buddhis, saya sangat setuju dengan konsep fangsen ini. Tidak baik mengurung binatang di alam sangkar atau kandang. Sebagus-bagusnya kandang hewan, dikasih makanan yang enak, si binatang pasti lebih bahagia hidup di habitat aslinya. Karena itu, binatang-binatang yang dikerangkeng di kebun binatang sebetulnya tidak berbahagia. Tidak sejahtera.
Yang merisaukan saya, filsafat fangsen yang bagus ini justru kontraproduktif karena melahirkan pedagang-pedang burung peking, burung lain, kura-kura dsb untuk memasok umat yang akan bikin fangsen.
Bermunculan pemburu burung dan satwa lain untuk dijual di dekat kelenteng atau vihara. Dan umat membeli satwa itu untuk dilepas ke alam bebas. Lalu ditangkap lagi oleh pemburu burung dan dijual ke pemasok burung di Pasar Kembang atau Kenjeran. Tujuan mulia fangsen pun tidak tercapai.
Membebaskan satwa dari kerangkengan manusia seperti yang diinginkan praktisi fangsen memang sangat sulit. Begitu banyak pasar burung di kota-kota. Jualan kura-kura atau reptil. Para penghobi binatang tentu saja punya ideologi yang bertentangan dengan fangsen.
Ada baiknya teman-teman penyelenggara fangsen memikirkan cara yang lebih efektif agar ritual cinta satwa ini bisa tepat sasaran. Agak aneh kalau burung-burung kecil dikerangkeng di tempat ibadah yang rutin melakukan upacara fangsen.
Nammo buddaya!
0 Response to "Satwa dilepas, ditangkap, dijual, dilepas lagi"
Posting Komentar