Oleh PUTRI AYUNINGTYAS
Wartawan Metro TV, Jakarta
TIDAK seperti perjalanan saya sebelumnya. Perjalanan kali ini terasa spesial, bahkan jauh hari sebelum saya dan rekan produser Moriza Prananda bertolak dari Jakarta. Boleh saja ada yang tak setuju dengan saya, tapi hati kecil saya terus berkata "ini luar biasa".
Adalah sebuah kampung kecil di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, yang menjadi tujuan kami kali ini. Kampung Lewouran namanya. Menempuh perjalanan darat sekitar 4 jam ke arah timur pulau Flores, kami disuguhi lukisan alam yang luar biasa.
Laut lepas di sebelah kiri dan perbukitan di kanan jalan. Tidak mudah mencapai kampung ini karena jalan yang berliku dan gelap (kami tiba malam hari dan daerah ini belum dialiri listrik). Tapi lelah yang menghinggapi kami hilang seketika, saat kami lihat ratusan warga kampung menanti dan menyambut kami dengan senyum dan tawa yang tulus. Warga telah berkumpul sejak siang hari untuk melakukan ritual penyambutan, dengan tarian Hedung (tari khusus menyambut pahlawan sepualang dari medan perang). Keikhlasan menerima kami yang bukan siapa-siapa ini, terlihat jelas di pancaran mata setiap orang, meski raut kelelahan juga tidak bisa mereka sembunyikan.
MENGAPA LEWOURAN?
Bagi kami,kampung ini merupakan bagian penting jalan cerita film dokumenter yang akan kami buat. Di sinilah tanah lahir juga kampung halaman tokoh utama dalam film kami, yaitu Romo Markus Solo Kwuta SVD (Romo Markus). Sedikit cerita saya tentang Romo Markus, ia merupakan satu-satunya orang Indonesia asli yang bekerja di lingkungan dalam Kepausan di Vatikan, di bawah pimpinan Paus Benediktus XVI. Sesuatu yang menurut kami tidak hanya membanggakan tapi juga sangat menginspirasi.
Inspirasi itupun kami lihat dan rasakan sendiri selama 3 hari masa pengambilan gambar dan wawancara. Kami melihat jelas seperti apa kehidupan mereka yang sangat sederhana, tapi penuh rasa terima kasih pada Sang Pencipta. Sebagian warga merupakan petani palawija dengan hasil yang tak seberapa, sebagian lagi mencari ikan di laut yang akhir-akhir ini kurang bersahabat. Namun, di tengah kerasnya kehidupan, masyarakat Lewouran tidak bisa menyembunyikan besarnya cinta yang mereka miliki terhadap sesama.
Dari beberapa wawancara yang kami lakukan, tampak sekali kebanggaan dan kecintaan mereka terhadap Romo Markus yang kini merantau di Vatikan. Cinta yang tidak buta (begitu yang saya lihat) karena di saat yang bersamaan, warga tetap melihat Romo Markus seperti dulu. Dari cerita yang saya dapat, Romo Markus tetap harus menimba air di sumur ketika pulang kampung atau memberi makan ternak. Tidak ada perlakuan spesial.
Dari perjalanan ini pula, saya mengerti bahwa bagi masyarakat Flores pada umumnya profesi seorang Pastor atau Imam merupakan profesi terhormat yang memiliki tempat khusus di tatanan sosial masyarakat. Masyarakat masih percaya bahwa adanya seorang Imam atau Pastor dalam keluarga, bisa meningkatkan status sosial keluarga itu.
BAHAGIA YANG SEDERHANA
Subjudul di atas sangat tepat menggambarkan hal utama yang kami rasakan di Kampung Lewouran. Ketiadaan listrik menjadi hal yang wajar, meskipun warga terus berharap suatu saat listrik bisa mereka rasakan. Kesulitan mendapat makanan layak, dirasa sebagai bagian dari ritme kehidupan yang harus mereka jalani. Keterbatasan akses pendidikan tidak mengurangi niat dan mimpi besar anak-anak Lewouran.
Lewouran mengajari saya untuk bisa tersenyum dari hal-hal sederhana. Lewouran mengajak saya untuk bisa berdamai dengan keadaan terburuk sekalipun. Lewouran juga menginspirasi saya untuk senantiasa mencintai. Cinta itulah yang membentuk sosok Romo Markus hingga bisa menjejakkan kaki di Vatikan.
Cinta Lewouran kini juga bisa dinikmati dunia, dari seorang Romo Markus yang berkarya di Vatikan.
0 Response to "Cinta Lewouran untuk Dunia"
Posting Komentar