Bahasa daerah memudar di Lembata

blogger templates
Pantai di Desa Mawa, Ileape, Lembata, yang penuh batu.

Seminggu terakhir ini Kompas mengangkat masalah pengajaran bahasa daerah di sekolah. Intinya, para guru, budayawan, pakar, dosen, tokoh masyarakat di Jawa menuntut bahasa daerah HARUS diajarkan di sekolah. Bahasa daerah jangan dihapus di kurikulum baru.

"Bahasa daerah penting untuk menjaga jati diri bangsa," kata Dingding Haerudin, ketua jurusan bahasa Sunda, Universitas Pendidikan Indonesia, seperti dikutip Kompas (8/1/2012). Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan juga mengirim surat kepada Menteri Pendidikan M Nuh. Dia meminta agar bahasa daerah tetap diajarkan di sekolah-sekolah di Jawa Barat.

Anehnya, di Nusa Tenggara Timur, khususnya Flores Timur dan Lembata, yang bahasa ibunya bahasa lamaholot, perdebatan soal pengajaran bahasa daerah ini tidak terjadi. Bahasa Lamaholot atau bahasa daerah memang tidak pernah diajarkan di NTT. Bahkan, ada kecenderungan para orang tua saat ini lebih suka mengajarkan anak-anaknya bahasa Indonesia (versi Lewoleba) sebagai bahasa ibu. Bukan lagi bahasa Lamaholot.

Saat mudik ke Lembata baru-baru ini, saya kaget karena beberapa anak kecil yang saya temui selalu bicara dalam bahasa Indonesia. (Meskipun bahasa Indonesianya logat Lembata, campur-baur dengan kata-kata lokal.) Saat saya bicara dalam bahasa Lamaholot, dia tetap saja berbahasa Indonesia. Wow, luar biasa!

Ketika ikut misa malam Natal di Gereja Lewotolok, duduk di luar karena penuh, saya dekat seorang ibu muda. Dua anaknya yang masih kecil suka jalan-jalan, ganggu konsentrasi umat. Wow, saya kaget karena komunikasi mama itu dengan anaknya selalu dalam bahasa Indonesia. Rupanya, saya yang sudah terlalu lama tinggal di Jawa Timur tidak mengikuti perkembangan masyarakat di Lembata, kampung halaman saya sendiri.

Dulu, sebelum tahun 2000, tidak banyak orang Lembata di kampung-kampung yang lancar berbahasa Indonesia. Hanya guru-guru sekolah dasar yang bisa diandalkan kemampuan bahasa Indonesianya. Karena itu, pastor-pastor misionaris asal Eropa pun harus berbahasa Lamaholot kalau ingin berkomunikasi dengan masyarakat di desa-desa di Kecamatan Ileape, Lebatukan, Buyasuri, Omesuri, Nagawutun, atau Atadei.

Saya sendiri baru mulai belajar bicara bahasa Indonesia setelah pindah ke Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur, untuk melanjutkan sekolah ke SMP di San Dominggo. Sangat sulit bicara bahasa Indonesia karena struktur bahasa Lamaholot memang sangat berbeda dengan bahasa Indonesia. Belum lagi perbedaharaan kata bahasa Indonesia yang sangat minim.

Rupanya, isu pengajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah tidak relevan di NTT, khususnya Flores Timur dan Lembata. Kalau orang Jawa akhir-akhir ini meradang karena bahasa daerah bakal dihapus di kurikulum baru, orang NTT malah sudah lama MELARANG murid-murid berbahasa daerah di lingkungan sekolah. Anak-anak yang ketahuan berbahasa daerah (setiap murid dituaskan untuk memata-matai temannya) mendapat hukuman.

"Anak-anak Lembata yang selalu berbahasa daerah akan bodoh di sekolah. Tidak bisa menerima pelajaran yang disampaikan dalam bahasa Indonesia. Makanya, lebih baik anak-anak dibiasakan berbahasa Indonesia sejak kecil di rumah," kata seorang pensiunan guru di Lembata.

0 Response to "Bahasa daerah memudar di Lembata"

Posting Komentar