Seperti biasa, saya diminta datang saat ulang tahunnya karena ada acara kecil-kecilan. Salaman, kue, minuman ringan. Keluarganya pun datang kasih ucapan selamat. Yang jauh biasanya menelepon happy birthday.
Bukan main! Nenek yang pernah mengalami sekolah Belanda, kemudian Jepang, ini memang punya peradaban yang beda dengan kebanyakan orang Indonesia. Khususnya yang tinggal di kampung-kampung. Khususnya lagi orang NTT, walkhusus Flores.
Di Flores boleh dikata tidak ada kebiasaan merayakan ulang tahun. Tak ada kue, apalagi pesta. Sekadar kasih selamat pun tidak ada. Karena itu, banyak orang Flores yang lupa tanggal lahirnya sendiri.
"Kami sekeluarga pun tidak pernah merayakan ulang tahun," kata Dian asal Jawa Tengah. Setelah saya selidiki memang lebih banyak orang yang tidak mengadakan pesta ulang tahun ketimbang yang punya acara khusus.
Akhirnya, saya simpulkan bahwa mengisi ultah dengan acara kecil sangat erat kaitan dengan peradaban, budaya, ekonomi, dan status sosial seseorang. Orang Tionghoa selalu punya acara birthday karena memang punya tradisi untuk itu. Bahkan ultah ke-17 anak sering dibikin agak besar.
Di gereja sering saya dengar orang minta misa untuk si A atau B yang berulang tahun kesekian. Hampir pasti orang Tionghoa. Bukan Flores atau Jawa. "Kok ulang tahun saja dirayakan seperti itu," kata orang kampung yang memang kurang nyambung dengan peradaban tinggi.
Di kalangan Tionghoa, hari jadi atau ulang tahun ini biasa disebut SEJIT. Yang menarik setiap tahun selalu ada perayaan sejit untuk dewa-dewi tertentu. Pesta ultah Dewi Makco sangat meriah di Sidoarjo. Rangkaian acaranya bisa satu minggu.
Pesta ultah Dewi Kwan Im paling meriah di Kelenteng Pamekasan. Ribuan orang datang untuk sembahyang dan bergembira. Kalau dewa-dewi yang sudah meninggal saja dirayakan ultahnya, apalagi orang yang masih hidup.
0 Response to "Budaya pesta ulang tahun"
Posting Komentar