Nasib musik keroncong di Sidoarjo saat ini ibarat kerakap di atas batu. Hidup segan, mati tak mau. Meski makin ditinggalkan generasi muda, sejumlah komunitas tetap berusaha melestarikan musik yang pernah sangat populer pada awal kemerdekaan itu.
SIANG itu sekitar sekitar 20 penggemar keroncong berkumpul di Pendapa Delta Krida, Sidoarjo. Usia mereka rata-rata di atas 50 tahun. Ada juga satu dua orang yang berusia kepala tiga. Tapi semangat mereka untuk bernyanyi dan main musik layak diacungi jempol.
“Saya minta Keroncong Tanah Airku,” kata Totok Widiarto, warga Siring, Porong, yang rumahnya sudah lama tenggelam oleh lumpur Lapindo. Sang pemusik pun memainkan intro lagu keroncong terkenal ciptaan Kelly Puspito itu.
“Mendalam lembah curam, di sela gunung meninggi....”
Ternyata nadanya ketinggian. Maka, Totok yang memang bersuara rendah itu kesulitan membunyikan nada-nada tinggi. Setelah diturunkan nada dasarnya beberapa kali, penyanyi keroncong senior ini akhirnya bisa menyelesaikan nomor itu. Tepuk tangan pun bergemuruh usai Totok menyelesaikan lagunya.
Belum sempat Totok duduk, Ny Eddy Sukamto mendekati peman keyboard dan memesan lagu keroncong kesukaannya, Rindu Malam. Bu Eddy, sapaan wanita 50-an tahun ini, tampak bernyanyi dengan penuh perasaan. Dia seperti larut dalam melodi keroncong yang mengalir dan melankolis itu.
Begitu seterusnya anggota komunitas ini bergantian menyanyikan lagu-lagu keroncong lawas diiringi organ tunggal. Bukan orkes keroncong yang biasanya diperkuat tujuh hingga 10 pemusik.
“Kalau hanya sekadar latihan dan santai seperti ini cukup satu pemain keyboard saja. Soalnya, sekarang ini kita sangat sulit menemukan orkes keroncong yang masih komplet di seluruh Kabupaten Sidoarjo,” kata Totok Widiarto kepada saya.
Pada 1990-an Totok Widiarto dan kawan-kawan pernah merilis album keroncong berisi lagu-lagu tentang pemandangan alam dan keindahan Kota Delta, Sidoarjo. Meski distribusinya terbatas, album ini cukup dikenal di kalangan komunitas keroncong. Totok juga sempat mencoba menghidupkan beberapa grup keroncong yang mati suri di Sidoarjo.
Namun, gara-gara musibah lumpur Lapindo, yang menenggelamkan rumah sekaligus tempat latihan keroncong di Desa Siring, Kecamatan Porong, tak jauh dari Sumur Banjarpanji I, Totok pun fokus untuk mencari rumah kontrakan. Sempat membuka komunitas musik keroncong di Pondok Mutiara, pria yang juga koordinator Pusat Lembaga Kebudayaaan Jawa (PLKJ) ini harus pindah lagi ke tempat lain.
“Makanya, sekarang ini latihan kami pindah-pindah, tidak menentu. Kalau ingin kumpul, ya, saya tinggal SMS ke teman-teman,” katanya seraya tersenyum.
Menurut Totok, pada tahun 1980-an Sidoarjo punya cukup banyak grup musik keroncong yang tersebar di 18 kecamatan. Ada kecamatan yang punya tiga, bahkan lima orkes keroncong yang aktif pentas di berbagai hajatan. Maklum, saat itu resepsi pernikahan sering menampilkan orkes keroncong untuk menghibur para undangan. Saking banyaknya tanggapan, para pemusik keroncong bisa hidup hanya dengan main keroncong dari satu hajatan ke hajatan yang lain.
Seiring perubahan selera musik masyarakat, menurut dia, orkes keroncong ini perlahan-lahan surut. Di pihak lain, regenerasi tidak jalan karena anak-anak muda kurang tertarik mendalami musik campuran Portugis dan nusantara ini. Akibatnya, pemain-pemain musik maupun penyanyi keroncong mulai didominasi oleh warga senior alias lansia.
“Sudah banyak pemusik keroncong yang meninggal dunia. Dan tidak ada yang melanjutkan,” paparnya.
Setelah tahun 2000, orkes keroncong yang ada di Kabupaten Sidoarjo yang aktif tak sampai 10 grup. Itu pun kondisinya semakin parah karena tak ada lagi tanggapan. “Kalau nggak ada yang nanggap, mau hidup dari mana?” tukasnya.
Karena krisis musisi itulah, saat ini para penyanyi keroncong tidak bisa lagi diiringi orkes keroncong, melainkan organ tunggal alias keyboard. Nuansanya tentu sangat berbeda dibandingkan keroncong asli dengan orkes lengkap.
Nah, para (mantan) penyanyi keroncong dari berbagai grup yang sudah vakum itu kemudian secara berkala mengadakan latihan bersama. Bahkan, beberapa waktu lalu mereka menggelar sebuah even kesenian di pelataran Cand Pari, Porong. Tak hanya keroncong, Totok dan kawan-kawan juga menampilkan mocopat dan campursari.
“Sebab, vokalis keroncong di Jawa itu hampir pasti bisa nyanyi campursari dan mocopat. Bahkan, sekarang ini mereka lebih banyak aktif di campursari karena keroncong sudah hampir tidak ada lagi,” katanya.
0 Response to "Senja kala keroncong di Sidoarjo"
Posting Komentar