Sambil ngopi saya pancing om asal Sumba itu. Mengapa orang protestan aliran karismatik dan pentakosta punya hobi bikin gereja baru? Kan sudah ada banyak gereja aliran sejenis di sekitar sini? Umatnya pun tidak banyak?
Om itu tersenyum lalu ketawa. "Itu memang masalah kami orang kristen, khususnya di Jawa," katanya. "Beda dengan kalian orang katolik. Dua puluh ribu orang pun bisa ditampung di satu gereja. Kristen ini terlalu banyak aliran, denominasi."
Saya pura-pura gak ngerti. Om pu maksud bagaimana? "Kalau orang kristen itu mau kebaktian di GPIB, GKJW, atau GKI, maka gereja di kota ini sudah cukup untuk semua orang kristen. Tapi kalau trennya kayak sekarang ya gereja tak akan pernah cukup."
Om yang protestan sejati, pengagum Luther, ini sudah lama resah dengan gerakan gereja-gereja karismatik. Bikin kebaktian di hotel, restoran, ruko, garasi, rumah dan di mana saja. Mereka tidak butuh gereja besar macam GPIB atau GKI permanen.
"Mungkin GPIB tidak menarik untuk orang karismatik dan pentakosta. Mereka bikin reformasi lagi kayak zaman Martin Luther dulu. Reformatio semper reformanda!" pancing saya.
"Hehehehe... Memang ini masalah pelik karena menyangkut keimanan, doktrin dsb. Orang karismatik pasti tidak cocok kebaktian di GPIB yang tenang," katanya.
"Om sendiri cobalah kebaktian di Bethany dan sejenisnya?"
"Waduh, beta sonde cocok! Om sudah tua."
Saya pun merenung. Gereja-gereja yang tumbuh tak terkontrol di Jawa itu lebih karena kebutuhan pendeta. Gereja jadi sumber nafkah keluarganya. Maka, dia tak akan segan-segan memboyong umat GPIB, GKI, Katolik dsb agar gerejanya penuh. Makin banyak umat makan banyak income!
Saya kira Martin Luther akan menangis melihat hasil reformasinya. Kata wong cilik: reformasi kebablasan!
0 Response to "Martin Luther dan reformasi kebablasan"
Posting Komentar