Di beberapa kabupaten bahkan calon bupatinya ada enam pasangan. Politikus NTT itu cenderung (kata orang Jawa) RUMONGSO ISO tapi tidak ISO RUMONGSO. Merasa sangat mampu jadi bupati atau gubernur, padahal sebetulnya tidak bisa apa-apa. Orang jadi pejabat zonder know how!
Saya perhatikan pilgub NTT ini sangat elitis. Hanya menjadi konsumsi orang-orang di Kupang. Orang-orang kampung di Flores atau Lembata bahkan tidak paham kalau ada pemilihan gubernur. Boro-boro mengenali lima pasangan yang merasa bisa memperbaiki kesejahteraan rakyat NTT itu.
Awal Januari 2013, saya bertanya kepada seorang tokoh di pelosok Ileape, Lembata, yang sangat paling informatif dan melek politik. Bapak ini ternyata tidak tahu banyak soal pilgub. Dia hanya tahu kalau Gubernur Frans Lebu Raya maju lagi. Dia juga tahu Wagub Esthon Foenay pecah kongsi dan mencalonkan diri.
"Kami di desa tidak punya informasi. Pemilu terus, pilgub terus, tapi kondisi di kampung masih seperti yang engkau lihat sekarang," katanya.
Begitulah. NTT memang tidak punya tokoh yang suka blusukan macam Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. Di NTT bupati atau gubernur sama dengan raja yang terpisah dari rakyat di kampung. Orang kampung yang bernasib baik jadi pejabat tiba-tiba lupa blusukan ke kampung. Bahkan, lupa berbahasa daerah.
Lantas, apa prestasi Gubernur Frans selama lima ini? Sulit diukur. Yang jelas, sampai sekarang belum ada program konkret yang bisa membuat orang NTT tidak lagi merantau ke Malaysia Timur. Belum ada industri yang menyerap tenaga kerja di NTT.
Orang NTT yang 20 tahun merantau, ketika pulang kampung, melihat tak banyak perubahan. Kondisi jalan raya bahkan lebih buruk ketimbang zaman Orde Baru. Moga-moga gubernur baru nanti bisa membuat NTT lebih maju.
0 Response to "Quo vadis gubernur NTT?"
Posting Komentar