Sri Supadmi, Tionghoa yang Pimpin Liponsos Surabaya

blogger templates


Tak banyak orang Tionghoa yang menjadi pegawai negeri sipil (PNS), apalagi memimpin sebuah UPTD. Nah, Sri Supadmi merupakan salah satu warga keturunan Tionghoa yang sedikit itu. Dia mengaku sama sekali tidak kikuk bekerja di lingkungan birokrasi yang hampir tidak ada PNS keturunan Tionghoa.

"Saya memang keturunan Tionghoa, tapi sejak kecil tinggal di Kademangan, Blitar. Sebuah permukiman yang sangat kental dengan tradisi dan budaya Jawa. Orang Tionghoanya hanya sembilan keluarga," kenang Sri Supadmi.

Karena biasa berbaur dengan orang Jawa, Sri pun terbiasa berbicara dalam bahasa krama inggil atau Jawa halus. Bermain, belajar, bergaul... semuanya dengan teman-teman sebaya yang asli Jawa. Itu pula yang membuat dia memilih PNS sebagai lahan pengabdiannya. Bukan bidang bisnis atau perdagangan yang selama ini dicitrakan sebagai profesi utama orang Tionghoa.

"Suami saya juga orang Jawa kok," kata Sri merujuk Ani Ruswanto, sang suami, yang telah memberinya dua anak, Denny Rusvendra dan Calvin Rustanto. Putra sulungnya pun kini mengikuti jejak sang ibu, mulai merintis karir di lingkungan Pemerintah Kota Surabaya.

Bagi Sri Supadmi, pekerjaan apa pun harus ditekuni dengan serius, ikhlas, dan penuh pengabdian. Karena itu, ketika dipercaya memimpin UPDT Liponsos sejak 2007, Sri benar-benar total mengabdikan diri untuk mendampingi para penghuni rumah penampungan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) itu. Tak sekadar duduk di belakang meja, Sri sangat mobile terjun ke lapangan untuk memantau kondisi para gelandangan, pengemis, lansia, anak jalan, psikotis, maupun kalangan pekerja seks komersial (PSK) binaannya.

Dia juga mengajak para remaja, yang dicakup karena pacaran yang kebablasan, bicara dari hati ke hati. Sebagai seorang ibu, Sri menasihati mereka untuk menghentikan kebiasaan buruk yang bisa mengancam masa depan mereka.

"Kalian itu masih sangat muda, mbok yo sekolah, belajar serius, untuk hari depan kalian sendiri," katanya.

Setiap pukul 14.30 Sri bersama petugas Liponsos berkeliling dari bangunan yang satu ke bangunan lain untuk layanan pengobatan. Para PMKS, khususnya psikotis (penderita gangguan jiwa), memang sangat membutuhkan pengobatan dan pendampingan. Maklum, mereka-mereka ini sudah tidak diurus, bahkan tidak diakui keluarganya.

"Mereka itu sudah seperti keluarga saya sendiri," katanya.  (lambertus hurek)



               Anggap Penghuni Liponsos Keluarga Sendiri

Sehari setelah Valentine's Day atau Hari Kasih Sayang, Jumat (15/2/2013), Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos) di kawasan Keputih Tegal, Surabaya, diserbu ratusan orang. Tujuannya, membebaskan anggota keluarga, kenalan, maupun anak buah mereka yang semalam dirazia petugas Satpol PP dan kepolisian. Sri Supadmi (53), kepala UPTD Liponsos, pun harus menghadap sejumlah laki-laki yang terlihat emosional dan marah-marah.

Sri Supadmi sendiri tampak tenang-tenang saja meskipun beberapa pria berbicara dengan nada tinggi, bahkan membentak-bentak. Ibu dua anak ini kemudian menjelaskan duduk persoalan sebenarnya. "Semua itu ada prosedurnya. Kami di sini tidak akan pernah mempersulit Anda," katanya seraya tersenyum.

Berikut petikan percakapan LAMBERTUS HUREK dengan Sri Supadmi di ruang kerjanya:

Mengapa begitu banyak laki-laki yang terlihat sangat emosional?

Hehehe.... Itu sih biasa. Sejak bertugas di Liponsos tahun 2007 saya sudah kenyang menghadapi orang-orang seperti itu. Intinya, mereka memaksa untuk membebaskan orang tertentu yang tadi malam dirazia petugas karena melakukan pelanggaran. Oke, kami akan bebaskan, tapi Anda harus mengikuti prosedur yang berlaku.

Prosedur seperti apa?

Dia harus membuktikan sebagai orang tua atau suami atau keluarga dari orang yang berada di dalam itu (ruang khusus untuk menampung orang-orang yang dirazia petugas). Itu bisa dibuktikan dengan kartu keluarga, surat nikah, atau surat keterangan lainnya. Lha, si bapak yang tadi itu mengaku-ngaku keluarganya, tapi tidak punya bukti apa pun. Dia tidak bisa menunjukkan kartu keluarga atau surat-surat lain. Saya sih sudah sering menghadapi orang-orang yang suka mengaku-ngaku ini.

Rupanya, Anda sudah sangat siap mental menghadapi katakanlah orang-orang di belakang PSK (pekerja seks komersial) yang dicokok petugas?

Begitulah. Liponsos ini kan tempat menampung para penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS). PMKS itu, menurut kementerian sosial, ada 28 item. Tapi di sini kami hanya punya lima item PMKS, yakni gepeng (gelandangan-pengemis), anak jalanan, lansia telantar, psikotik (gangguan kejiwaan), dan PSK. PSK ini yang paling sulit.

Mengapa?  

Sebagian PSK-PSK itu kan punya germo atau mucikari. Ada jaringan yang punya kepentingan bisnis dengan PSK-PSK itu. Maka, ketika PSK-PSK itu dibawa ke sini, mucikari-mucikari ini kebakaran jenggot. Mereka tidak ingin PSK-PSK itu bertobat, beralih profesi, kembali ke masyarakat, tapi berusaha mempertahankan status quo. Jadi, ada-ada saja usaha mereka untuk membebaskan anak buahnya.

Tapi bukankah sebagian wanita yang dibawa ke sini hanya karena kasus pacaran di tempat umum atau jalan sendirian saat larut malam? 

Karena itu, pihak keluarga harus bisa membuktikan dengan kartu keluarga atau surat keterangan dari RT/RW. Kita ingin ada kerja sama dengan pihak keluarga untuk membina anak-anak muda ini. Jangan sampai mereka-mereka ini menjadi korban perdagangan manusia (trafficking). Saat ini Ibu Wali Kota (Tri Rismaharini) sangat concern dengan kasus-kasus traficking di Kota Surabaya. Dan, Liponsos sebagai UPTD milik Pemkot Surabaya punya tugas dan tanggung jawab untuk mencegah atau paling tidak mengurangi human trafficking. Remaja-remaja putri yang dicakup malam-malam itu kan sangat rawan jadi korban trafficking.

Bagaimana dengan PMKS lain seperti gepeng, lansia telantar, atau psikotik?

Yah, tentu saja, semuanya punya masalah sendiri-sendiri. Tapi tidak serumit PSK yang punya beking dan jaringan trafficking itu tadi. Para gepeng, lansia telantar, atau psikotis ini kan berkeliaran di jalan karena tidak ada keluarga yang mengurusi. Mereka ditampung di sini untuk menjalani perawatan, rehabilitasi, dan sebagainya. Syukurlah, banyak dari mereka yang akhirnya sehat kembali dan bisa dipulangkan ke kampung halamannya. Saya ikut senang dan bahagia karena proses rehabilitasi di Liponsos ini berhasil.

Dari mana saja sih penghuni Liponsos?

Sebagian besar justru bukan masyarakat Surabaya. Boleh dibilang, Liponsos ini seperti miniatur Indonesia. Si Anton yang sedang bikin keset itu (sambil menunjuk pemuda berkulit gelap) berasal dari Ambon. Ada lagi yang dari NTT (Nusa Tenggara Timur), Papua, Kalimantan, Banjarnegara (Jawa Tengah), Madura, Sulawesi, dan sebagainya. Ini juga jadi masalah tersendiri untuk pemulangan ketika kondisi mereka sudah baik. Kalau pulang ke Papua, Maluku, atau NTT kan butuh uang untuk tiket kapal laut dan sebagainya. Sementara Liponsos tidak punya anggaran untuk membeli tiket kapal. Hehehe....

Berapa banyak penghuni dan berapa sih kapasitas ideal Liponsos?

Data yang masuk saat ini (15 Februari) 1.223 orang. Sementara kapasitas idealnya hanya 300-400 orang saja. Artinya, jumlah penghuni sudah jauh melebihi kapasitas atau overload. Selain penghuni kambuhan, bolak-balik masuk kembali ke sini, masalah PMKS di kota besar seperti Surabaya ini makin lama makin banyak. Begitu kompleknya persoalan hidup yang membuat sebagian saudara-saudara kita jadi gelandangan, pengemis, anak jalanan, maupun PSK. Belum lagi lansia telantar karena tidak diurus oleh keluarganya.

Persoalan PMKS ini harus ditangani bersama-sama seluruh elemen masyarakat, mulai dari keluarga. PSK-PSK yang dibawa ke sini, setelah keluar, praktik lagi ke jalanan, kemudian ditangkap, dibawa lagi ke sini. Kalau rantai trafficking ini tidak diputus, ya, susah.

Apa solusi untuk menghadapi overkapasitas ini?

Tahun ini, kalau tidak ada halangan, Dinas Sosial membuka Unit Pelayanan Terpadu (UPT) baru khusus lansia di daerah Rungkut. Dengan begitu, PMKS lansia yang ada di Liponsos ini bisa dipindahkan ke sana. Kalau bisa daerah-daerah lain pun memiliki Liponsos seperti di Surabaya untuk menampung warganya. Kalau tidak begitu, ya, jadinya kayak sekarang. PMKS-PMKS ini ramai-ramai datang ke Surabaya.

Bu Risma juga sudah meminta Pemprov Jatim untuk membantu anggaran Liponsos mengingat sebagian besar penghuni justru datang dari berbagai daerah di Jawa Timur. Saya senang karena Pemkab Jember baru saja datang ke sini untuk studi banding Liponsos. Nah, kalau ada Liponsos di Jember, maka penghuni yang berasal dari Jember kita titipkan di Liponsos Jember. Begitu juga dengan daerah-daerah lain.

Anda sudah lima tahun bertugas di Liponsos. Apa tidak jenuh menghadapi penghuni yang tingkahnya sering aneh-aneh?

Oh, tidak! Ketika saya diamanati untuk menjadi kepala Liponsos, saya menerimanya dengan senang hati. Bagi saya, amanat dan kepercayaan itu harus saya jalankan dengan penuh tanggung jawab dan senang hati. (*)

BIODATA SINGKAT

Nama : Sri Supadmi
Lahir, Blitar, Juli 1959
Suami : Ani Ruswanto
Anak : Denny Rusvendra dan Calvin Rustanto

Pendidikan
SMPN 2 Blitar
SMAK Diponegoro Blitar
Akademi Seketariat dan Manajemen (ASMI) Surabaya
FE, Universitas Widya Putra, Surabaya

Riwayat karir
Staf Kecamatan Sawahan, 1986
Kaur Kepegawaian Kecamatan Sawahan, 1990
Kasi Pemberdayaan Perempuan, Dinsos Surabaya, 2002
Kasubag Kepegawaian Dinsos Surabaya, 2005
Kepala UPTD Liponsos, Surabaya, 2007

Dimuat RADAR SURABAYA edisi Minggu 17 Februari 2013.

0 Response to "Sri Supadmi, Tionghoa yang Pimpin Liponsos Surabaya"

Posting Komentar