Harian Kompas edisi Minggu, 9 Juni 2013, memuat wawancara panjang Putu Fajar Arcana dengan GERSON POYK, sastrawan asal Nusa Tenggara Timur (NTT) yang namanya termuat di buku-buku pelajaran bahasa Indonesia.
Kakek ini lagi mejeng dengan sepeda butut di kebun singkong, Depok, Jawa Barat. Oh, inilah Opa Gerson di usia 82 tahun. Masih semangat menulis, jadi petani, punya semangat hidup, masih merawat humor segar.
Dulu, kami, para pelajar di NTT, biasa disuruh membaca cerita Gerson Poyk di surat kabar lokal, DIAN, terbitan Ende, Flores. Gerson Poyk salah satu penulis tetap di koran milik kongregasi pastor-pastor Societas Verbi Divini alias SVD itu. Gerson juga selalu menulis novel atau cerpen dengan setting suasana NTT, sabana, petani, penggembala, guru desa, masyarakat yang masih cenderung primitif.
"Gerson Poyk itu salah satu sastrawan asal NTT yang patut dibanggakan. Sangat jarang ada orang NTT yang tercatat sebagai sastrawan di buku-buku. Kalian harus banyak membaca agar kelak bisa menulis bagus seperti Gerson Poyk," seorang bapak guru menjelaskan di depan kelas di Flores Timur, kampung halaman saya.
Maka, nama Gerson Poyk tak pernah hilang dari otak saya. Tapi terus terang baru kali ini saya melihat wajahnya di Kompas Minggu, 9 Juni 2013. Kakek yang tetap konsisten mengarang, bertani, bercanda, dengan humor-humornya yang pahit.
Baru kali ini saya dibuat tertawa, tapi sekaligus tersekat, membaca obrolan di Kompas Minggu. "Wuedan tenan!" kata orang Jawa Timur.
Kok ada manusia NTT yang membuat jutaan pembaca Kompas Minggu tertawa ngakak sekaligus menangis. Tangis dan tawa, tragedi dan komedi diaduk jadi satu. Dan itu bukan fiksi. Itulah perjalanan hidup seorang wartawan, sastrawan, budayawan, sekaligus tokoh masyarakat NTT yang sangat terkenal di bumi Flobamora.
"Ibu sudah lama nggak ada ya?" Putu Fajar Arcana bertanya.
"Istri saya hilang kira-kira enam tahun silam," jawab Gerson Poyk enteng.
Istri Gerson menderita DEMENTIA SENILIS, kehilangan memori total. Dia meninggalkan rumah, tak bisa pulang karena tak ingat lagi di mana rumah, alamat, bahkan nama suami, anak-anak, cucu. "Kami sudah cari ke mana-mana tapi tidak ketemu. Entah dia di mana sudah," kata Gerson Poyk.
Gerson belum kehilangan humornya. Dia tunjukkan foto Antoneta Saba, istrinya, ketika masih muda. "Coba lihat foto itu, cantik kan!"
Hehehe.... Saya ketawa keras membuat pemilik warung kopi di Wonokromo, Surabaya, terheran-heran. Jangan-jangan saya dianggap wuedan sama si tukang kopi asal Madura itu. Perasaanku diaduk-aduk oleh sang pengarang idola yang karya-karyanya dulu sering saya baca di DIAN, surat kabar mingguan khas Flores, langganan bapak saya.
Opa Gerson Poyk kok begini ya?
Tidak semua pengarang, penulis, atau sastrawan hidup dengan tragedi-komedi seperti Gerson Poyk. Apalagi novelis-novelis laris yang sudah masuk bilangan kaum pesohor alias selebritas. Tapi paling tidak pengalaman hidup Gerson Poyk bisa jadi cermin untuk orang muda yang hendak masuk ke komunitas penulis atau sastrawan.
"Saya tetap sehat kecuali sedikit kanker saja," kata Gerson Poyk.
"Oh ya, ampun... sejak kapan?"
"Ah, kan biasa pengarang hidup akrab dengan kantong kering. Hahahaha...."
Hahahaha.... Saya pun kembali tertawa sendiri di warkop pinggir sungai itu. Juragan kopi masih heran melihat saya. "Ono opo kok pean ngguyu dhewek?"
Hahahaha.... Wuedan tenan, Cak!
0 Response to "Gerson Poyk di Ladang Singkong"
Posting Komentar