Irwan Pontoh tokoh Buddhayana Jatim

blogger templates


Hari Waisak yang jatuh pada 6 Mei 2012 dirayakakan umat Buddha dengan melakukan meditasi di vihara dan sejumlah kompleks candi. Irwan Pontoh (49 tahun), ketua Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) Jawa Timur, merupakan salah satu tokoh yang giat mengajak umat Buddha, khususnya Buddhayana, untuk mengadakan ritual di kawasan candi dan bangunan cagar budaya.

Oleh LAMBERTUS HUREK

Sejak kapan umat Buddhayana mengadakan perayaan Waisak di kompleks candi?

Sebetulnua sudah cukup lama umat Buddha di tanah air mengadakan ritual di candi-candi. Khusus di lingkungan Buddhayana, kami mulai sejak reformasi dan makin intensif sejak lima tahun lalu. Kita di Jawa Timur bahkan dipercaya menjadi tuan rumah perayaan Waisak tingkat nasional di Candi Brahu, Mojokerto. Saat itu ribuan umat dari berbagai daerah di tanah air hadir. Sejumlah pejabat di Jatim juga datang untuk mengikuti resepsi seperti Wagub Syaifullah Yusuf, kemudian wali kota dan bupati Mojokerto.

Apa sebetulnya tujuan mengadakan ritual kolosal di lingkungan candi?


Kita ingin mengingatkan masyarakat untuk kembali ke akar budaya kita. Supaya masyarakat Indonesia, khususnya umat Buddha, tidak lupa dengan tradisi dan kearifan lokal kita yang punya nilai dan kearifan yang luar biasa.

Ingat, kita punya begitu banyak bangunan cagar budaya, situs-situs, candi-candi yang tersebar di berbagai wilayah tanah air. Apakah kita sudah memelihara dan memberdayakan bangunan-bangunan cagar budaya itu? Nah, berangkat dari pertimbangan itulah kami memutuskan untuk menggelar upacara Waisak di kompleks candi-candi. Tentu saja, kami tetap berkoordinasi dengan pemerintah dan dinas purbakala sebagai pengelola dan penanggung jawab bangunan cagar budaya.

Perayaan di candi itu diadakan di tingkat provinsi atau nasional?


Nasional. Acaranya digilir dari provinsi ke provinsi. Tahun lalu Jatim jadi tuan rumah, kami adakan di Candi Brahu Mojokerto. Sedangkan tahun ini dipusatkan di Candi Sewu, Jawa Tengah. Setiap provinsi mengirim perwakilan untuk mengikuti perayaan Waisak tingkat nasional itu. Umat Buddha yang lain tentu mengikuti detik-detik Waisak di vihara masing-masing.

Ada pertimbangan memilih candi-candi yang ada kaitan historis dengan perkembangan agama Buddha?


Tentu saja ada. Candi Brahu di Mojokerto misalnya memang punya kaitan erat dengan upacara-upacara buddhis di masa lalu. Dan, menurut catatan sejarah, Candi Brahu itu memang candi buddhis. Tidak jauh dari Candi Brahu juga ada Mahavihara Majapahit yang punya patung Sleeping Buddha. Jadi, rangkaian prosesi Waisak bisa dilakukan dari mahavihara ke kompleks candi dengan bagus. Nuansa tradisi Majapahit atau Jawa Timur sangat terasa.

Mengapa Anda dan pengurus Buddhayana getol menyerukan agar orang Indonesia kembali ke akar budaya?


Begini. Kalau kita perhatikan secara cermat ada kecenderungan bahwa masyarakat kita mulai melupakan akar budaya dan tradisi lokal. Di era globalisasi dan modernisasi ini orang Indonesia cenderung menerima begitu saja berbagai tradisi dan budaya yang bertentangan dengan kearifan lokal. Semakin sedikit orang yang benar-benar peduli budaya lokal dan mau mengembangkannya. Padahal, kita ini bangsa besar yang sangat kaya akan tradisi budaya dan kearifan lokal. Lha, kalau kita terlalu asyik dengan budaya luar, jangan-jangan kita menjadi orang Indonesia yang berbudaya asing. Kita terlalu asyik dengan budaya luar dan cenderung mengabaikan kebudayaan sendiri.

Sekalian mempopulerkan candi-candi di tanah air?


Benar sekali. Kita di Jawa Timur ini punya begitu banyak candi yang tersebar di berbagai kota/kabupaten. Di Mojokerto saja ada berapa candi. Belum candi-candi di Malang, Singosari, Blitar, Sidoarjo. Candi-candi itu merupakan bangunan cagar budaya yang punya potensi besar untuk pariwisata, penelitian sejarah, dan sebagainya. Kalau bukan kita yang menjaga dan mengembangkannya, siapa lagi?

Kalau tidak salah beberapa waktu lalu Anda bersama umat Buddha di Surabaya pernah melakukan acara Waisak di kompleks arca Joko Dolog. Apa pertimbangannya?


Jangan lupa, arca Joko Dolog itu juga termasuk bangunan cagar budaya yang penting di Kota Surabaya. Arca Joko Dolog itu tidak lain merupakan Raja Kertanegara yang sedang bermanifestasi sebagai Buddha Mahasobya. Raja Kertanegara sendiri seorang tokoh agama Buddha yang terkenal pada masanya. Maka, dengan mengadakan ritual di kompleks Joko Dolog, kami secara tidak langsung mempopulerkan kembali situs-situs bersejarah yang kita miliki di Kota Surabaya.

Bagaimana respons Pemprov Jatim dengan terobosan yang dilakukan Buddhayana mengingat Jatim punya banyak peninggalan Majapahit?


Baik sekali. Waktu menghadiri acara Waisak nasional di Candi Brahu Mojokerto, Gus Ipul dan sejumlah bupati sangat antusias. Pejabat-pejabat itu senang karena kami bisa membuat kawasan candi menjadi lebih hidup dan populer. Bahkan, sebelumnya pemprov berkeinginan agar kampung-kampung di Mojokerto, khususnya yang di kawasan situs Majapahit, Trowulan, didesain layaknya kampung-kampung di era Kerajaan Majapahit tempo doeloe.

Rumah-rumah penduduk didesain ulang ala Majapahit. Kemudian situs-situs yang ada dibuat lebih menarik lagi. Juga ada atraksi budaya yang mencerminkan budaya Majapahit. Kalau program ini bisa direalisasikan, maka Jawa Timur akan menjadi provinsi yang luar biasa. Ini akan menjadi daya tarik pariwisata yang sangat besar.

Rupanya, Buddhyana sudah memulai dengan Mahavihara Majapahit di Trowulan?


Yang jelas, kami (Buddhayana) adalah pelopor agama Buddha di nusantara (Indonesia). Jadi, kami memang punya kewajiban untuk merawat nilai-nilai luhur, tradisi, serta kearifan lokal itu. Kami juga sedang bekerja keras mengajak generasi muda untuk menggali lebih jauh kearifan-kearifan lokal yang ada di sekitar kita. Jangan sampai kita terlalu mendewa-dewakan segala sesuatu yang berbau asing.

Dalam beberapa tahun terakhir cukup banyak tokoh buddhis dari luar negeri berkunjung ke Vihara Buddhayana dan situs-situs Buddha di Jatim. Apa mereka itu diundang?

Tidak. Kami tidak pernah undang, tapi mereka yang datang sendiri. Kenapa? Orang-orang dari luar negeri itu sebetulnya ingin menggali dan mendalami agama Buddha di Indonesia. Kita sering lupa bahwa Indonesia itu sebetulnya sudah lama menjadi kiblat bagi negara-negara lain yang belajar agama Buddha. Jadi, bukan hanya India. Kita pernah punya Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit yang wilayahnya justru jauh lebih luas daripada negara Indonesia saat ini. Karena itulah, orang-orang luar sangat tertarik untuk mendalami itu semua. (rek)

0 Response to "Irwan Pontoh tokoh Buddhayana Jatim"

Posting Komentar