Oleh Slamet A. Sjukur
Komponis, arek Surabaya
Dimulai tahun 1889, ketika Prancis memperingati 100 tahun revolusi mereka dengan ditandai peresmian menara Eiffel dan penyelenggaraan hajatan besar L’EXPOSITION UNIVERSELLE di Paris.
Belanda yang punya jajahan negeri kita, ikut punya stan di sana bernama Le Kampong Javanais, untuk menjual teh hasil perkebunan Parakan Salak dengan dimeriahkan para petani perkebunan tersebut yang memainkan seperangkat gamelan Sari Oneng mengiringi 4 orang remaja penari dari Surakarta.
Di luar acara pertunjukan, mereka melakukan kehidupan sehari-harinya seperti biasanya di desa mereka, dan ini bisa disaksikan oleh para pengunjung stan. Debussy yang waktu itu berusia 27 tahun --- sudah mendapat Prix de Rome lima tahun sebelumnya dan mulai naik daun --- untuk pertama kalinya mendengarkan gamelan.
Suatu pengalaman luar biasa, yang semakin meyakinkan tentang apa yang samar-samar sudah dia rasakan. Musik yang merdeka, bebas dari cengkeraman Wagner sebagai puncak jaman romantik abad 19. Dia dapatkan itu di dalam gamelan, tentu saja, karena gamelan berbeda sekali dari musik barat.
Secara garis besar, musik Barat itu cerdas dan punya arah yang jelas, seperti suratan takdir yang sudah terbaca (ada kadens, ada perkembangan dan solusi yang tidak bisa dihindari), sedangkan gamelan itu berputar-putar terus seperti orang gila yang tidak peduli waktu.
Sebelum perjumpaannya dengan gamelan, Debussy sudah sering coba-coba dengan berbagai unsur interval yang memungkinkannya bisa menghindari keharusan fungsional harmoni, yaitu dengan meniadakan sebisa mungkin interval semiton, jadilah kawasan tangga-nada-penuh atau pentatonik yang dia bikin sendiri. Tapi semua ini baru coba-coba. Baru sejak 1889, gamelan menjadi sumber utama inspirasi estetik Debussy.
Sebagai sumber utama bagi seorang jenius seperti Debussy, gamelan tentu bukan sekadar untuk ditiru, melainkan diserap intinya dan diolahnya sampai menjadi bagian dirinya sendiri.
Karyanya yang berjudul Pagoda, untuk piano, oleh para musikolog barat dianggap sebagai yang paling nyata adanya pengaruh gamelan. Sayangnya bagi ‘telinga jawa’ karya tersebut terasa seperti musik Cina.
Musik Debussy akan terlalu dangkal seandainya di situ gamelan bisa dilacak dengan mudah pada setiap nada. Justru kita ini yang sebenarnya dituntut untuk cermat menangkapnya di dalam yang samar.
Nocturnes, yang terdiri dari tiga bagian untuk orkes, yang sama sekali tidak berbunyi seperti gamelan, malah di situlah terjadi persenyawaan Debussy dan gamelan.
Slendro tersirat di dalam bagian pertama dan ketiga. Nuages (Arak-Arakan Awan) dan Sirénes (paduan-suara Putri-Putri Duyung) bergerak lamban bagaikan tari bedaya yang bebas dari desakan waktu, keselarasan harmoninya mengambang tak bergerak seperti butiran-butiran debu di udara rumah yang suwung.
Itu sikap Debussy yang sangat revolusioner, menentang pakem harmoni fungsional dan orkestrasi yang berat jaman romantik abad 19.
Di dalam Fête (Pesta Alam Semesta), yang berada diantara kedua bagian tersebut, satu-satunya bagian yang cepat, dengan ostinato ritme yang berulang-ulang, demikian juga melodinya, menyelinap ketujuh nada pelog.
Ciri gamelan tidak terbatas hanya pada soal Interval dan tangga-nada saja. Sejumlah lapisan ketinggian-nada terjalin satu sama lain, nada-nada rendah bergerak perlahan, semakin tinggi lapisannya semakin cepat.
Polifoni yang bergerak bersamaan ini tertangkap oleh Debussy yang memang punya bekal kontrapung dengan seluruh kemungkinan pasangan ritmenya. Karena itu Debussy berani mengatakan bahwa dibandingkan dengan gamelan, musik Palestrina itu — yang merupakan puncak musik polifoni abad 16 --- tidak lebih dari permainan anak-anak.
Debussy juga merasakan gamelan seperti sungai yang airnya terus mengalir dan sekaligus sepertinya yang itu-itu juga. Tidak ada pengembangan seperti dalam musik barat, setiap peristiwa atau motif dibiarkan bersolek sendiri dalam siklus waktu yang damai.
Air menjadi simbol penting bagi Debussy: ‘La Mer’- laut, ‘Reflet dans l’eau’- bayangan di air, ‘Jardin sous la pluie’-kebun dibawah hujan, ‘Poisson d’or’-ikan mas . . . sampai-sampai patung Debussy yang ditempatkan di Bois de Boulogne --- sebuah hutan di tepi kota Paris --- bukannya berbentuk sosok sang komponis melainkan patung yang menggambarkan ‘air’.
Suatu kekeliruan orang menyebut musiknya beraliran impressionisme seperti lukisan-lukisan Monet, Pissarro, Renoir dll. Debussy sendiri menentang sebutan bodoh seperti itu. Dia akrab dengan dunia seni-rupa, tapi dia merasa lebih dekat dengan teman-temannya sasterawan simbolis seperti Louÿs, Verlaine, lebih-lebih Stéphane Mallarmé.
Dalam Préludes, dua bukunya yang masing-masing memuat duabelas karya, judul-judulnya tidak tercantum di awal karya sebagaimana lazimnya, tapi malah di akhirnya. Ini sebagai oleh-oleh dari pengalamannya mendengarkan gamelan.
Ketika itu dia sering bingung, apakah gendingnya masih yang namanya tercantum dalam buku-acara ataukah sudah lewat. Persis seperti orang yang tidak tahu bahwa sebuah sonata itu terdiri dari beberapa bagian. Debussy akhirnya menyadari bahwa yang penting musiknya, judul hanya sebagai sugesti atau saran saja.
Di luar itu semua, sekalipun dengan seluruh perhatian dan kesungguhannya, Debussy sebenarnya dalam keadaan yang menimbulkan rasa kasihan. Itu bukan salahnya, tapi karena keadaan pada waktu itu.
Gamelan yang dia dengarkan pada tahun 1889 itu gamelan Sunda, bukan gamelan Jawa (tepatnya Jawa Tengah). Memang Sunda terletak di Jawa sebelah barat, tapi gamelannya sangat berbeda dari gamelan Jawa yang ada di tengah. Ini membingungkan, memang. Orang Indonesia sendiri tidak mudah membedakan orang Spanyol dari orang Swiss, padahal mereka sama-sama orang Eropa.
Yang Debussy dengarkan pada waktu itu gamelan Sunda Sari Oneng yang diperagakan oleh buruh tani perkebunan Parakan Salak. Akan jauh berbeda seandainya yang tampil para wiyaga dengan gamelan keraton Mangkunegaran.
Di samping itu, keempat penarinya yang masih berusia antara 12 dan 16 tahun itu dari Surakarta, tapi bukan penari keraton. Sulit dibayangkan perpaduan yang luar biasa anehnya ini antara tandak Jawa dengan gamelan Sunda.
Hal ini bisa dianggap sebagai ulah kolonialis yang tidak senonoh, menurut pandangan kritis Edward Said terhadap orientalisme. Tapi hal ini berubah serta merta menjadi positif kalau nasib Debussy ini dikaitkan dengan cerita tokoh wayang Werkudara yang akhirnya malah berjumpa dengan Dewa Ruci. Malapetaka yang mestinya menimpa nasib Werkudara ternyata akhirnya menjadi pencerahan.
Pencerahan yang dialami Debussy ini merupakan sumbangan tidak ternilai bagi sejarah musik. Musik abad-20 membuka hubungan antarbangsa.
0 Response to "Hubungan antara Debussy dan Gamelan"
Posting Komentar