Pejabat-pejabat NTT, contohlah Jokowi!

blogger templates
Jokowi meninjau kampung kumuh di Jakarta.


Sangat menarik melihat gebrakan Joko Widodo alias Jokowi. Setelah dilantik menjadi gubernur DKI Jakarta, Jokowi berkeliling kota melihat langsung kondisi lapangan. Dialog dengan warga. Mendengarkan curhat warga. Blusukan ke mana-mana.

Dengan cara ini, Pak Gubernur jadi tahu begitu banyak masalah riil di lapangan. Betapa angkutan umum di Jakarta sangat buruk. "Masa ibukota negara kok busnya kayak begini?" ungkap Jokowi. Saya cuma ketawa geli melihat ungkapan polos Jokowi.

Yah, warga Jakarta layak bersyukur punya gubernur yang mau turun ke jalan, berpikir out of the box, rajin cari solusi kayak Jokowi. Benar-benar tipe pemimpin yang mau melayani. Konsep pemimpin sebagai PELAYAN sering diucapkan, khususnya dalam kampanye, tapi sangat jarang diperlihatkan gubernur, bupati, wali kota di Indonesia.

Melihat Gubernur Jokowi di televisi, saya langsung membandingkan dengan bupati-bupati dan gubernur di daerah saya, Nusa Tenggara Timur (NTT). Betapa jauhnya perbedaan dengan gaya Jokowi. Di NTT pejabat-pejabat, yang aslinya dari kampung, tiba-tiba berubah menjadi raja-raja kecil yang jauh dari rakyat. Mereka seakan menjadi makhluk dari planet lain.

Sebelum 1990-an, ketika saya masih berada di kampung, pelosok Lembata, saya tidak pernah melihat Bupati Flores Timur berkunjung ke kampung-kampung. Apalagi dialog dengan rakyat, memetakan masalah, cari solusi, dan seterusnya. Bupati Flores Timur saat itu ibaratnya raja yang hanya sibuk bekerja di kantor, kemudian pulang, istirahat di rumah jabatan.

Tidak ada kunjungan rutin bupati (saat itu) ke Lembata, Solor, Adonara, melihat kondisi masyarakat yang mengidap kemiskinan struktural, sehingga sebagian besar laki-laki merantau di Sabah dan Serawak, Malaysia Timur. Waktu saya masih SD di pelosok Lembata, saya dan teman hanya bisa menghafal nama bupati seperti Markus Weking, Simon Petrus Soliwoa, atau Iskandar Munthe tanpa pernah melihat orangnya secara langsung. Apalagi menjabat tangan bupati. Sebab, bupati-bupati yang berkuasa di Larantuka itu memang tidak pernah mengunjungi Ile Ape, kecamatan saya yang berada di pantai utara Lembata.

"Bapak Bupati kita itu wajahnya seperti apa?" tanya saya.

Kemudian Bapak Guru di kampung memperlihatkan foto bupati di surat kabar mingguan DIAN, koran stu-satunya yang beredar di Flores saat itu. Oh, Bapak Bupati Weking orangnya hitam. Oh, Bapak Bupati Soliwoa orangnya kurus dan tinggi! Lalu, kapan Bapak Bupati berkunjung ke kampung kita untuk membantu pengadaan air minum? Pak Guru pun tak tahu.

Tahun terus berganti, bupati datang dan pergi. Kemudian ada pemilihan langsung. Lumayan, berkat pemilihan langsung, calon-calon bupati yang biasanya duduk manis di Kupang atau Larantuka sudah mulai turun ke desa-desa... untuk kampanye. Ada tokoh yang puluhan tahun tinggal di Kupang tiba-tiba mengaku sebagai pejuang Lewotanah alias kampung halaman. Banyak tokoh yang sudah tidak berbahasa daerah (Lamaholot) karena memang beliau-beliau ini sudah puluhan tahun meninggalkan Lewotanah.

Karena bupati-bupati tak pernah turun ke kampung, blusukan ala Jokowi, maka berbagai persoalan di pelosok Flores Timur tak pernah diselesaikan. Contohnya jalan raya dan air minum. Kita yang hijrah ke Jawa akan menemukan kondisi jalan raya yang sama buruknya dengan 10 tahun lalu. Bahkan, lebih buruk. Dan rakyat di sana tidak merasa aneh melintas tiap hari di atas jalan yang mirip kubangan kerbau saat musim hujan.

Mengapa begitu?

Karena Bapak Bupati hanya asyik berkutat di istananya di ibukota kabupaten yang sangat jauh dari kampung saya di pelosok. Akal sehat sudah lama mati. Konsep pemimpin sebagai pelayan, sebagaimana ritual pembasuhan kaki pada Kamis Putih, di gereja-gereja di Flores sepertnya tidak punya efek pada perilaku pejabat-pejabat publik.

Maka, wajar saja kalau Provinsi NTT, khususnya Flores, khususnya Lembata, Solor, Adonara, Pantar, tidak bisa maju.  

0 Response to "Pejabat-pejabat NTT, contohlah Jokowi! "

Posting Komentar