Minggu lalu ada seorang motivator bicara di televisi tentang otak kanan. Pakailah otak kanan, maka Anda akan lebih kreatif dan kaya. Orang yang dominan otak kiri, kayak sebagian besar orang Indonesia, tidak bisa berpikir out of the box. Dan tak akan kaya! Begitu kira-kira penjelasan motivator itu.
Memang, sejak 10 tahun terakhir kampanye OTAK KANAN sangat gencar di Indonesia. Begitu banyak buku tentang otak kanan ditulis. Seminar, pelatihan, aktivasi, permainan... sebagian besar membahas mukjizat otak kanan. Bahkan, banyak tempat kursus yang tujuannya untuk memaksimalkan potensi otak kanan.
Hasil kampanye otak kanan yang sangat masif ini memang terbukti efektif. Sekarang ini para orang tua seperti berlomba-lomba mengikutkan anaknya dalam lomba, festival, reality show, atau kegiatan kreatif lainnya. Lomba menggambar plus mewarnai penuh sesak. Kursus sempoa laku. Anak-anak sejak kecil diarahkan jadi model, penyanyi, atau bintang film.
Selera anak-anak sekolah sekarang pun berbeda dengan era 1990, 1980, 1970, 1960. Zaman dulu pelajar berotak encer, indeks prestasi tinggi, juara fisika, matematika, kimia... jadi idola. Bahkan, pada 1990-an ada sinetron di TVRI, Rumah Masa Depan, yang menonjolkan sosok jenius Sangaja (kalau tidak salah). Otaknya begitu encer, tepat menjawab sebelum pertanyaan selesai dibacakan guru atau penguji.
Sekarang semua yang berbau selebriti, artis, seniman industri yag jadi idola. Bahkan, ada kecenderungan sekolah tak lagi dianggap penting karena hanya menekankan OTAK KIRI. Banyak remaja, yang disokong orang tuanya, sengaja memasukkan anak-anaknya ke home school, sekolah rumahan. Agar bisa fokus nyanyi atau main sinetron.
“Ngapain sekolah, banyak pekerjaan rumah, banyak banyak buku, kalau toh main sinetron bisa dapat uang banyak?” begitu pendapat yang makin meluas di masyarakat. Kalaupun hebat di sekolah, jadi akademisi, ilmuwan, profesor, gajinya jauh di bawah penghasilan artis film atau sinetron.
Zaman dan selera memang sudah jauh berbeda. Dulu orang tua melarang keras anaknya jadi penyanyi atau bintang film karena masa depannya kurang bagus. Sekarang kebalikannya. Sukses di akademik (otak kiri), kata si motivator, tidak akan pernah kaya karena sekarang ini eranya otak kanan.
Lantas, apa jadinya kalau hanya otak kanan yang diasah, sementara otak kiri diabaikan?
Saya baru membaca buku tentang soal otak ini terjemahan dari Tiongkok. Poinnya adalah keseimbangan. Baik otak kiri, otak kanan, otak tengah... punya fungsi dan manfaat bagi manusia. Meminjam istilah Orde Baru: kita tidak boleh bersikap ekstrem kanan atau ekstrem kiri. Terlalu menekankan otak kiri tentu tidak bijaksana. Sebaliknya, mendewa-dewakan otak kanan pun kurang elok.
Bayangkan sebuah negara hanya dipenuhi oleh seniman, artis, desainer, pekerja kreatif tanpa ada peneliti, ilmuwan, ahli bahasa, dosen, pegawai negeri sipil, karyawan. Bayangkan tak ada Poerwadarminta atau Sutan Mohammad Zain yang dengan tekun mencatat kata-kata untuk dijadikan kamus bahasa Indonesia. Atau, HB Jassin yang menelaah dan mendokumentasikan karya sastrawan di tanah air.
Jangan-jangan suatu ketika sekolah-sekolah formal dibubarkan karena semua anak lebih memilih sekolah di rumah (home schooling) atau belajar jarak jauh lewat internet dan perangkat teknologi informasi yang canggih.
0 Response to "Otak kanan adalah segalanya?"
Posting Komentar