Banyak perubahan di Lembata

blogger templates
Gereja Katolik Atawatung, Lembata, NTT, tempat saya dibaptis saat masih bayi.

Terlalu lama tinggal di Jawa, kemudian pulang kampung di NTT, khususnya pelosok Lembata, membuat saya pangling. Serasa asing dengan kampung halaman tempat lahir dan sekolah di SD tempo dulu.

Saya coba jalan kaki dari Lamawara ke Atawatung. Tak sampai lima orang yang saya papas di jalan. Sejak belasan tahun lalu kebiasaan jalan kaki sudah hilang. Anak-anak muda kelahiran 1990an enggan jalan kaki. Mereka naik ojek atau nunut pikap.

Hare gini jalan kaki? Itu mah orang lama! kata seorang pemuda lantas tertawa lebar.

Masih untung saya bertemu seorang ibu yang TUE LELU sambil jalan kaki. Yakni kebiasaan wanita Lamaholot yang memintal kapas jadi benang untk bikin kain. Seni tenun ikat manual yang bernilai tinggi.

Saya dengan Wabub Lembata Ama Mado pernah bilang suatu saat tue lelu tinggal sejarah di Lembata, khususnya Ileape. Tradisi bikin kain, sarung, peninggalan nenek moyang makin ditinggalkan anak muda.

Dari Mawa ke Atawatung saya pun tak berjumpa orang jalan kaki. Jalanan sepi. Cuma satu dua ojek yang lewat. Rupanya tukang ojek tak kenal saya, dan saya pun tak kenal mereka. Tak ada sapaan sekadar basa-basi. Padahal ketika saya kecil semua orang, khususnya yang lebih tua, wajib menyapa orang tua.

0 Response to "Banyak perubahan di Lembata"

Posting Komentar