Merantau ke Malaysia, tak pernah pulang

blogger templates

Setiap mudik ke kampung halaman di Lembata, NTT, saya selalu menanyakan dua teman karib semasa SD. IK dan TT sudah pernah pulang? Bagaimana keadaan mereka?

Jawabnya sama saja dari tahun ke tahun: tak ada kabar berita. IK sepertinya tak punya niat sedikit pun untuk pulang. Gayanya macam penduduk tempatan, orang Malaysia. TT punya dua istri. Juga tak jelas kabarnya.

Perantau yang tak pulang-pulang, meski sudah merantau 10, 20, bahkan 30 tahun tak hanya IK dan TT. Begitu banyak orang Flores yang macam begitu. Sudah nikmat dengan ringgit dan tak sudi melihat lagi kampung halamannya yang belum maju.

Mengapa perantau tak mau pulang? Daftar alasan sangat banyak. Biasa sibuk bekerja, dapat uang, beli macam-macam di Malaysia... lalu nganggur di kampung. Mana mau kerja di ladang?

Di pihak lain, orang kampung sering membebani para perantau dengan harapan selangit. Seakan-akan begitu mudahnya mendapat ringgit di Malaysia. Seakan-akan para perantau di Malaysia itu mandi uang.

Karena itu, perantau yang pulang kampung adalah perantau yang pulang membawa banyak uang dan barang. Saya pernah melihat ada perantau Malaysia yang menyewa dua pikap untuk mengangkut barang-barangnya.

"Kalau pulang tidak bawa apa-apa kan malu. Kerja bertahun-tahun di Malaysia kok datang kosong," kata A yang berumur 10 tahun. Ayahnya si A ini sudah 20 tahun lebih tak pulang-pulang.

Filsafat dan budaya Jawa rupanya lebih bersahabat dengan perantau. Orang Jawa bilang makan tidak makan asal kumpul! Orang NTT menuntut pulang plus membawa banyak barang. Percuma bekerja jauh-jauh di Malaysia tapi hasilnya pas-pasan.

MELARAT TUN PULO, BALIK GERENGO?

Maka, saya kira IK, TT, dan puluhan perantau NTT lain sejatinya menjadi korban budaya materialisme yang mulai hinggap di NTT sejak 1950an. Bahwa orang yang bekerja di Malaysia seolah-seolah begitu mudahnya memetik ringgit di kebun atau padang rumput.

Sebagian orang kampung juga cenderung lebih suka uangnya ketimbang orangnya. "Tidak pulang kampung tidak apa-apa. Yang penting kiriman ke kampung lancar," kata si X.

0 Response to "Merantau ke Malaysia, tak pernah pulang"

Posting Komentar