Saya pun langsung teringat buku diet karangan Fletcher, Pine, dan Penman berjudul NO DIET DIET. Para penulis, juga banyak orang Barat saat ini, menganggap menonton televisi sebagai bad habit. Bukan kebiasaan yang baik. Sebab, tanpa disadari, orang kecanduan televisi.
Kecanduan televisi ini sama bahayanya dengan kecanduan kopi, rokok, atau narkoba. Menonton televisi, kata Prof Fletcher dkk, adalah kegiatan tanpa pikiran yang membuat orang terjebak dalam kecanduan yang luar biasa.
"Menonton televisi dapat menyedot habis hidup Anda tanpa Anda sadari," demikian buku yang diindonesiakan oleh Penerbit Gramedia, Jakarta, itu.
Nah, kebiasaan menonton televisi ini ternyata ada kaitan dengan kegemukan atau penambahan berat badan. Terbenam di depan televisi membuat orang malas gerak badan. Malas menyapu. Enggan cuci piring atau cuci pakaian. Tidak mau ngepel karena keasyikan nonton gosip artis. Absen dari kegiatan senam bersama komunitas di perumahan atau kampung. Dan seterusnya.
Karena itu, tugas pertama yang harus dilakukan praktisi DIET NO DIET adalah TIDAK MENONTON TELEVISI SEPANJANG HARI. Bisa satu hari, dua hari, tiga hari... lebih baik tujuh hari. Setelah stop TV, Fletcher dkk yakin bahwa kita lebih banyak gerak, banyak baca, banyak sosialisasi, banyak senam, sepedaan, jalan kaki.... Begitu banyak aktivitas, yang dulu tak kita lakukan karena tersedot televisi, kini bisa kita jalani.
"Percaya atau tidak, sebagian besar orang merasa lebih puas dan bahagia," tulis Prof Fletcher dan dua rekannya.
Di lingkungan gereja di Surabaya, khususnya Katolik, masalah kecanduan televisi, khususnya infotainmen, juga pernah dibahas. Sang pastor bertanya, berapa banyak orang Katolik yang meluangkan waktu untuk ikut misa harian di gereja? Sangat sedikit. Padahal, setiap pagi, biasanya 05:30, selalu ada perayaan ekaristi di semua Gereja Katolik.
Begitu sibukkah umat di kota besar? (Sebagai perbandingan, misa harian di Flores, NTT, sampai sekarang masih sangat ramai. Tiap pagi gereja-gereja dan kapel penuh umat.)
Ehm... bisa ya bisa tidak. Sebab, pada saat misa harian berlangsung, banyak orang justru betah di depan televisi selama satu jam atau dua jam, bahkan lebih. Padahal, misa harian biasanya hanya sekitar 40 menit saja. Nonton gosip artis di televisi ternyata lebih menarik ketimbang ikut misa harian.
Karena itu, ada pastor yang mengusulkan agar kita mulai belajar puasa televisi. Tidak perlu membuang televisi, tapi tidak menonton televisi selama satu dua hari, kemudian 'buka' (boleh nonton), kemudian puasa lagi. Syukur-syukur puasa terus. Atau, cuma nonton televisi satu jam sehari, hanya acara-acara yang bermanfaat macam warta berita.
"Saya sudah memindahkan televisi saya ke gudang sejak tahun 1990-an. Nggak ada acara yang menarik," kata Slamet Abdul Sjukur, pianis dan komponis terkenal asal Surabaya.
Kita mungkin belum bisa seekstrem Pak Slamet, yang pernah tinggal belasan tahun di Eropa, sering keliling dunia untuk konser, punya murid dan penggemar di banyak negara. Tapi puasa atau diet televisi mau tidak mau harus dilakukan.
Mengharap pengelola televisi membuat program yang cerdas, bermoral, tidak gosip, ramah anak... di zaman seperti ini rasanya sebagai HIL YANG MUSTAHAL Kalau ada acara rutin CAR FREE DAY di Surabaya, mengapa kita lakukan TV FREE DAY?
0 Response to "Puasa menonton televisi"
Posting Komentar