"Bayi yang baru lahir ke dunia disambut sukacita. Gadis remaja manis, cantik, mengundang cinta kasmaran lawan jenis. Tapi manusia yang usia lanjut (manula) sering kali disingkirkan oleh keluarganya sendiri. Di sini kami mencoba memberikan kasih sayang yang tulus kepada para oma-opa."
Begitu antara lain kata-kata Suster Magdalena Pardosi KSSY, pemimpin Panti Jompo (Wreda) Santo Yosef di Jalan Jelidro II/33, Lontar, Sambikerep, Surabaya. Rumah jompo ini dikelola Kongregasi Suster Santo Yosef (KSSY), komunitas biarawati Katolik yang sebagian besar berasal dari Sumatera Utara.
Saya ikut rombongan anggota Spectrum Dian Choir, paduan suara pimpinan Shinta Wibisono, komunitas marga Huang Surabaya, mengadakan bakti sosial di sini. Rombongan diterima Suster Magdalena dengan ramah. Suster-suster lain, dan para pekerja (sebagian asal Manggarai, Flores Barat), sibuk melayani para lansia yang dititipkan keluarganya untuk diasuh komunitas KSSY.
Saat ini panti jompo berusia empat tahun ini dihuni 98 orang. Pernah mencapai 150 orang, tapi ada yang meninggal dunia atau keluar karena diambil kembali keluarganya. Mereka menempati kamar-kamar yang sangat bersih, layaknya hotel. Setiap saat para pekerja membersihkan kamar, pakaian, ganti seprei, sarung batal, dan sebagainya. Makan minum sangat diperhatikan.
Pagi itu para lansia ini duduk manis di atas kursi roda, pakai kaos kuning, menanti kedatangan tamu yang memang sudah janjian. Wajah-wajah mereka terlihat lesu. Kurang gairah hidup. Padahal, Bu Suster asal Batak yang masih muda sudah mengajak mereka bergembira dengan berlatih lagu-lagu Natal.
Pak Tien yang usianya baru 55 tahun tampak jauh lebih tua dari usianya. Bandingkan dengan Paus Benediktus XVI yang masih aktif memimpin Gereja Katolik sedunia meskipun sudah berusia 85 tahun. Atau, eyang-eyang di kawasan Pucangsewu dan Ngagel yang rajin jalan pagi meski usia mereka rata-rata di atas 70 tahun.
"Habis bagaimana lagi? Tinggal di panti jompo itu ya bisa dibilang susah, bisa dibilang senang. Sudah ada yang ngurus semuanya, tapi anak cucu nggak ada. Mereka hanya membayar biaya bulanan, tapi hampir tidak pernah ke sini," kata bapak asal Kampung Seng, Surabaya, ini.
Begitulah. Melihat orang-orang tua di panti jompo memang beda dengan kakek-nenek di rumah yang masih bisa dolan sama anak cucu. Tim paduan suara pun mencoba menghibur oma-opa ini dengan nyanyian dan tarian. Tapi saya lihat hanya satu dua orang saja yang nyambung. Lebih banyak yang kehilangan gairah hidup.
"Orang lapar kok disuruh nyanyi," komentar seorang opa yang sebetulnya belum 60 tahun. Saya pun tertawa ngakak mendengar celetukan polos ala arek Surabaya ini.
"Tinggal di sini terlalu banyak berdoa. Hehehe," katanya lantas tertawa kecil.
Maklum, ketika masih muda dan produktif opa ini memang tidak pernah berdoa... dan bukan Katolik. Ketika dijebloskan ke asrama lansia oleh anak-anaknya, mau tidak mau setiap saat ada acara doa bersama, dan didoakan, secara Katolik, tentu saja. Opa ini sebetulnya lebih membutuhkan teman dialog dari keluarga dekat, khususnya anak cucu, bukan doa-doa atau hiburan paduan suara.
Saat paduan suara yang dipimpin Ganda Kharisma membawakan lagu rancan, tiba-tiba seorang opa maju dan menari. Gerakan-gerakannnya lucu. Wajahnya datar saja. Teman-temannya sesama penghuni panti pun ikut tersenyum. Saya pun ikut menemani opa itu menari. Edan-edanan! Lumayan untuk melepas stres.
Tak lama kemudian, acara harus diakhiri. Sebab, di depan sudah menunggu rombongan dari Gereja Redemptor Mundi yang juga datang untuk tujuan yang sama. Menghibur 98 oma-opa di Panti Jompo Santo Yosef.
Ah, seandainya wanita-wanita selalu muda dan cantik seperti Agnes Monica!
0 Response to "Menghibur oma-opa di Panti Wreda Santo Yosef Surabaya"
Posting Komentar