Sejak tahun 1980-an generasi muda Tionghoa perlahan-lahan kehilangan kemampuan berbahasa Tionghoa baik dialek lokal maupun Mandarin sebagai nasional. Orang muda keturunan Tionghoa di Surabaya bahkan lebih fasih bahasa Suroboyoan ketimbang bahasa leluhurnya.
"Saya hanya bisa sekadar hitungan satu sampai 10 bahasa hokkian. Sama sekali tidak bisa bahasa mandarin," kata David Tan, mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Surabaya.
David mengaku hanya tahu marganya Tan dan leluhurnya berasal dari Provinsi Fujian alias Hokkian di Tiongkok Selatan. Orang tuanya pun sudah tidak bisa lagi berbahasa Tionghoa. Kini, setelah bahasa Mandarin makin naik pamornya di dunia internasional, dan tak ada larangan ala rezim Orde Baru, David mulai mencoba belajar bahasa Mandarin. Itu pun tidak mudah mengingat lidah Surabayanya yang sangat sulit mengucapkan lafal Mandarin secara tepat.
Julianto Shi, pemerhati masalah Tionghoa dari Pontianak, juga melihat fenomena umum di tanah air ini. Padahal, komunitas Tionghoa di Kalimantan Barat tergolong besar dan mereka dikenal paling aktif melestarikan tradisi dan budaya leluhur. Keluarga Julianto sendiri berbicara dalam bahasa Tiociu, salah satu dari sekian banyak dialek lokal di Tiongkok.
Selain tekanan rezim lama, menurut Julianto, anak-anak muda enggan mempelajari bahasa ibu atau dialek lokal karena dianggap sudah kuno. "Belajar bahasa Tiociu itu ketinggalan zaman karena bukan bahasa nasional," kata Julianto merujuk pendapat sebagian besar generasi muda Tionghoa.
"Makanya, sering ada kecaman dari orang-orang tua: orang Tionghoa yang tidak tahu bahasa ibunya itu orang Tionghoa yang bodoh," katanya.
Merosotnya penggunaan dialek-dialek lokal Tionghoa di Indonesia, menurut Julianto, juga disebabkan oleh meningkatnya peranan bahasa Inggris dan Mandarin di dunia internasional. Kedua bahasa ini dianggap lebih unggul dan bergengsi.
0 Response to "Dialek lokal Tionghoa kian memudar"
Posting Komentar