Oleh Lambertus Hurek
Dimuat di Radar Sidoarjo
Sidoarjo beruntung punya Agustinus Heri Sugianto (48). Pria yang berdomisi di Semambung ini berhasil mengangkat nama Sidoarjo ke tingkat nasional berkat sejumlah tari kreasi ciptaannya. Hampir semua tari ciptaan Agus sangat kental dengan nuansa Sidoarjo yang rancak, energik, serta dinamis.
Salah satunya Tari Banjarkemuning. Tarian yang diangkat dari kehidupan nelayan di Banjarkemuning, Sedati, ini sudah dipelajari dan dimainkan berbagai sanggar di Sidoarjo dan kota-kota lain di Jatim. Bahkan, di luar Jatim. Tarian berdurasi sekitar tujuh menit ini juga kerap dipuji dalam festival tari tingkat regional maupun nasional.
Bagaimana ceritanya Anda membuat tarian khas Sidoarjo seperti Banjarkemuning?
Saya ini kan warga Sidoarjo yang kebetulan berkecimpung di kesenian. Maka, saya harus menciptakan sesuatu untuk bisa mengangkat potensi Sidoarjo. Yang bisa saya lakukan ya menciptakan tarian yang punya karakter Sidoarjo yang kuat.
Anda melakukan riset ke kampung nelayan di Banjarkemuning?
Otomatis, karena saya sering jalan-jalan ke sana, melihat keseharian nelayan dan keluarganya. Saya lihat spirit ibu-ibu nelayan, putra-putri nelayan yang tinggi. Ketika suami atau ayah mereka melaut untuk mencari ikan, mereka tidak santai, tapi sibuk bekerja. Tidak diam. Nah, kondisi inilah yang saya serap dan olah dalam Tari Banjarkemuning.
Kapan tarian itu diperkenalkan ke publik?
Tahun 1999 dalam lomba karya tari se-Jatim. Saya bersama Sanggar Sekartaji memperkenalkan di ajang lomba itu. Dan sejak itu Tari Banjarkemuning mulai dikenal masyarakat, khususnya para praktisi tari dan kalangan remaja. Tarian ini juga sering ditampilkan dalam acara-acara di Sidoarjo.
Setelah Banjarkemuning, Anda rupanya makin intens mengeksplorasi potensi Sidoarjo?
Betul sekali. Saya kemudian menangkap spirit masyarakat seperti yang saya lakukan di Banjarkemuning. Dalam waktu yang tidak terlalu lama saya menciptakan beberapa tari kreasi bernuansa Sidoarjo seperti Solah Ketingan, Bangbang Wetan, Celipir (tarian anak-anak), Bandeng Nener, Udang Windu, Solah Cemanden.
Mengapa semua tarian ini berbau nelayan?
Karena Sidoarjo ini memang punya banyak kampung nelayan dan tambaknya. Kehidupan masyarakat pesisir di Kota Delta tentu berbeda dengan kehidupan masyarakat petani yang setiap hari mengolah sawah. Ketika saya angkat sebagai karya tari, maka gerakan-gerakannya menjadi lebih hidup, energik, dan dinamis.
Karakternya sangat khas nelayan yang sangat dinamis dan berani menghadapi gelombang dan badai di lautan. Karena itu, musiknya pun bernuansa Jawa, Madura, Banyuwangi. Saya memang suka mengeksplorasi kehidupan nelayan dan masyarakat tambak.
Kapan biasanya Anda berkarya?
Kapan saja saya berusaha menciptakan tarian baru. Istilahnya, tiada hari tanpa berkarya. Sebab, terlalu banyak inspirasi yang ada di kepala saya yang harus diwujudkan dalam bentuk seni tari. Malam hari ketika istri saya sudah tidur, saya duduk di depan gamelan dan mulai mengetuk perlahan-lahan. Dan... beberapa saat kemudian sudah ada karya baru.
Berarti Anda mendapat dukungan penuh dari keluarga?
Oh iya, spirit dari istri saya memang luar biasa. Dia tahu dan sangat sangat mendukung profesi saya. Anak saya yang dua orang juga begitu. Malah anak kedua saya, Rahmi, ikut mengoreksi cikal bakal tarian saya, misalnya Celipir. Dia bilang kok gak enak ya. Dari komentar Rahmi, saa kemudian mengubah sedikit agar lebih enak ditarikan oleh anak-anak seusia dia.
Kabarnya Anda baru pentas di luar negeri?
Betul. Festival ini bukan lomba, tapi membawa nama dan gengsi negara. Kami membawakan tarian berjudul Kidung Syair Berdendang dari Jejer Banyuwangi. Ini menarik karena baru pertama kali Jatim yang tidak punya tradisi Melayu ikut festival tari Melayu, di luar negeri pula. Maka, kami mengambil referensi dari Pulau Bawean yang masyarakatnya sangat heterogen dengan elemen Melayunya. Syukurlah, dibandingkan negara-negara lain seperti Malaysia, Brunei, atau Singapura, kita nggak jeleklah.
Ngomong-ngomong apakah Anda ingin tarian-tarian ciptaan Anda seperti Banjarkemuning, Solah Ketingan, atau Udang Windu diakui sebagai tarian resmi Kabupaten Sidoarjo?
Itu sih terserah pemkab dan masyarakat saja. Sebagai seniman, saya hanya berkarya sebanyak-banyaknya, mengangkat potensi lokal di Sidoarjo, menjadi karya seni yang bisa diapresiasi oleh sebanyak mungkin orang. Masalah diakui atau tidak, bukan urusan saya.
Dapat Banyak Penghargaan
Kerja keras Agustinus Heri Sugianto sebagai koreografer dan pencipta begitu banyak tari kreasi bernuansa Sidoarjo ternyata tidak sia-sia. Gubernur Jawa Timur Soekarwo pada 2010 memberikan penghargaan kepada Agus sebagai seniman yang berdedikasi di Jatim.
Lumayan, selain piagam, Agus diberi uang pembinaan Rp 10 juta. "Uangnya dipotong pajak. Hehehe," kata guru SDN Pucang I yang suka bercanda itu.
Tentu saja, suami Dwi Wahyuningsih beroleh award dari gubernur. Karena itu, dia semakin tertantang untuk menciptakan karya-karya tari baru dengan karakter Jatim, khususnya Sidoarjo.
Hanya berselang setahun, 2011, Agus kembali beroleh penghargaan tingkat provinsi. Kali ini sebagai guru berprestasi di bidang kesenian. Hadiahnya piala dan uang pembinaan Rp 5 juta.
Dipotong pajak juga? Hehehe... Agus kembali tertawa lepas.
Sebagai guru mata pelajaran seni budaya dan keterampilan di SD, Agus mengaku tidak mudah membina kesenian di sekolah. Sebab, guru-guru di Indonesia masih bekerja dengan sistem borongan. Belum spesialisasi. Apalagi guru kesenian yang benar-benar berlatar belakang pendidikan kesenian, plus praktisi seni, memang tidak banyak.
"Untuk Kabupaten Sidoarjo baru saya sendiri yang tercatat sebagai guru kesenian," katanya.
Di sekolah-sekolah lain banyak guru nonkesenian terpaksa mengajar kesenian karena ketiadaan guru seni itu. Ada guru olahraga yang mengajar teater atau tari. Guru agama mengajar musik atau seni suara dan seterusnya. Karena itu, sulit diharapkan pembinaan kesenian melalui sekolah bisa berjalan dengan baik di Jawa Timur, khususnya Sidoarjo.
"Sebab, mencetak guru kesenian itu memang tidak gampang," kata pria yang juga berlatar belakang Sekolah Pendidikan Guru (SPG) itu.
Sebagai guru kesenian di SD, Agus justru senang karena ada tantangan besar untuk memperkenalkan tarian sederhana kepada murid-muridnya. Mengapa? Anak-anak sekolah itu tidak punya latar belakang sebagai penari. Seni tari hanya sekadar pelajaran tambahan yang tentu tidak diujikan di unas. Beda dengan anak-anak sanggar yang minat dan bakat lebih besar.
Agus kemudian mencontohkan gerakan anak-anak sanggar yang gemulai dengan kuda-kuda yang kuat. Beda dengan anak-anak sekolah yang kaku dan terkadang goyah arena tumpuan kakinya tidak sempurna.
"Tapi saya justru senang dengan anak-anak didik saya di sekolah. Mereka itu yang menjadi inspirasi saya untuk terus berkarya. Setiap kali melihat gerakan mereka, saya tertantang untuk membuat karya-karya yang baru," katanya. (hurek)
0 Response to "Agustinus Heri Sugianto penata tari Sidoarjo"
Posting Komentar