Sejak puskesmas masuk desa pada 1980an, tabib atau pengobat tradisional perlahan-hilang di kampung. Aneka tanaman obat kini makin jarang digunakan. Sakit sedikit lari ke puskesmas atau polindes.
Belum lama ini saya kaget melihat seorang ibu di kampung saya pulang dari polindes membawa 8 macam obat. Padahal dia cuma demam ringan akibat flu. Kok banyak betul obatnya?
"Kata bidan, saya harus minum semua agar cepat sembuh," katanya. Orang-orang desa sekarang memang dijejali obat dalam jumlah kelewat banyak.
Saya ingat ketika masih anak-anak, sakit macam ibu tadi cukup minum air rebusan daun kalanidi (bahasa Flores Timur) dan sembuh. Tidak perlu jauh-jauh ke puskesmas. Ada toga, tanaman obat, yang bisa dipakai untuk menyembuhkan diri.
Setiap kali melihat iklan TCM di televisi, yang sangat dominan, saya ingat pengobatan herbal ala wong kampung tempo doeloe. Hampir semua penyakit ada obatnya.
Mengapa Tiongkok bisa mengembangkan pengobatan tradisional warisan leluhur, sementara kita tidak? Indonesia terlalu gandrung semua yang datang dari barat dan cenderung melecehkan pengobatan tradisional. Alih-alih mengembangkan tanaman obat yang sangat kaya, kita malah melumpuhkan metode pengobatan herbal pusaka leluhur.
Kini, ketika Tiongkok membawa klinik-klinik TCM di sekitar kita, pemerintah pun gelagapan. Ngambang. Meremehkan TCM tapi diam-diam mengakui kehebatan sistem pengobatan ala Cungkuo. Pemerintah belum juga sadar untuk mengembangkan pengobatan tradisional Indonesia.
Belum lama ini belasan anak muda Jatim berangkat ke Zhejiang untuk kuliah khusus TCM. Kapan Indonesia punya fakultas khusus pengobatan tradisional untuk mengimbangi fakultas kedokteran yang sangat barat itu?
Jangan-jangan orang Tiongkok diam-diam sudah membawa tanaman obat kita ke Cungkuo, meneliti dan mengembangkannya, kemudian diklaim sebagai obat Tiongkok.
0 Response to "Hilangnya pengobatan tradisional kita"
Posting Komentar