Selama bertahun-tahun dr Hendrian Dwikoloso Soebagjo SpM terlibat aktif dalam operasi mata di Surabaya dan kota-kota lain. Dokter spesialis mata kelahiran Surabaya, 20 Januari 1965, ini mengaku prihatin dengan banyaknya penderita gangguan mata, khususnya katarak, di tanah air.
Oleh Lambertus Hurek
Dokter Hendrian Soebagjo pun meminta dengan tegas agar pemerintah segera mengambil kebijakan untuk menyelamatkan jutaan orang Indonesia dari ancaman kebutaan. Sabtu (28/9/2013), ketua bidang organisasi Persatuan Dokter spesialis Mata Indonesia (Perdami) Jawa Timur ini memimpin operasi katak di Klinik Dian, kawasan Wiyung, Surabaya. Sebanyak 41 pasien pun menjalani operasi katarak secara cuma-cuma berkat donasi pasutri Agus Wibisono-Shinta Wibisono.
Berikut petikan percakapan LAMBERTUS HUREK dengan dr Hendrian Soebagjo SpM saat rehat operasi katarak tersebut.
Di Surabaya sangat sering dilakukan operasi katarak massal. Tapi mengapa pasien katarak ini kok masih tetap banyak?
Begini. Saat ini kebutaan merupakan ancaman serius yang menimpa warga di seluruh dunia. Setiap menit, 15 orang mengalami kebutaan. Dan, empat di antaranya terjadi di Asia.
Indonesia sendiri bagaimana?
Sangat gawat. Sebab, penderita kebutaan di Indonesia itu nomor dua di dunia setelah Ethiopia. Ini tidak main-main karena ancaman kebutaan karena katarak atau penyakit mata yang lain ada di sekitar kita. Makanya, para dokter spesialis mata yang tergabung dalam Perdami sangat concern untuk melakukan operasi katarak seperti yang dilaksanakan saat ini. Kita ingin agar masyarakat kita, khususnya warga kurang mampu, bisa ditolong. Mata itu organ yang sangat vital untuk kehidupan ini. Kita harus bertindak agar penderita kebutaan bisa ditekan seminimal mungkin di tanah air.
Berapa persen penduduk Indonesia yang mengalami kebutaan?
Menurut data terakhir yang saya ketahui, 1,5 persen dari penduduk Indonesia mengalami kebutaan. Ini angka yang sangat tinggi mengingat jumlah penduduk Indonesia sekitar 220 juta hingga 230 juta. Jadi, bisa dibilang 3,67 juta orang Indonesia yang mengalami kebutaan. Sementara ada jutaan orang lagi yang juga mengalami ancaman kebutaan. Target kami, pada 2020 nanti angka kebutaan di Indonesia harus ditekan hingga 0,5 persen.
Apakah realistis?
Yah, kita harus berusaha dan kerja keras. Kalau semua pihak bahu-membahu, pemerintah punya komitmen yang tinggi, mudah-mudahan bisa tercapai.
Mungkin karena dokter spesialis mata di Indonesia masih kurang, sehingga banyak penderita katarak atau gangguan mata lain yang tidak mendapat penanganan?
Dokter spesialis mata kita sangat-sangat kurang. Saat ini hanya terdapat sekitar 1.600 dokter spesialis mata di seluruh Indonesia. Itu pun penyebarannya tidak merata. Di Surabaya dan daerah lain di Jawa Timur saja pasien katarak begitu banyak. Apalagi provinsi-provinsi lain di luar Jawa yang layanan kesehatannya masih sangat minim seperti di NTT (Nusa Tenggara Timur). Ini merupakan masalah kesehatan nasional yang harus dipikirkan semua pihak, khususnya pemerintah. Sesuai konstitusi, negara bertugas untuk menangani jutaan penderita kebutaan yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.
Apakah jutaan penderita kebutaan itu bisa diatasi dengan operasi?
Saya kira, 80 persen bisa diatasi, bisa melihat lagi, kalau penyebab kebutaannya disebabkan oleh katarak. Sisanya yang 20 persen sudah sulit diatasi.
Lantas, mengapa Anda bersama Perdami tidak mendorong pemerintah untuk mengatasi kebutaan yang diderita sekian juta orang itu?
Wah, kami sudah sering bicara soal ini. Tapi, kita juga perlu menyadari bahwa operasi itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dan, jujur saja, negara kita belum memiliki kemampuan untuk membiayai operasi mata untuk rakyatnya, khususnya yang tidak mampu, di seluruh Indonesia.
Karena itu, kami sangat berterima kasih kepada pihak swasta, para pengusaha, dan siapa saja yang peduli untuk mengadakan bakti sosial operasi katarak seperti yang dilakukan di siini. Ini artinya mereka telah ikut meringankan beban negara. Saya salut sama pihak swasta, elemen masyarakat, dan semua pihak yang membantu pembiayaan operasi mata. Biaya yang dikeluarkan jelas tidak kecil.
Makanya, pemerintah perlu memberikan penghargaan dan dukungan kepada mereka. Kalau ada persoalan supaya dicarikan solusi. Jangan malah dihambat atau dipersulit! Sebab, katarak ini tidak bisa hanya ditangani oleh negara. Kalau negara bisa menangani sendiri, tingkat kebutaan di Indonesia tidak mungkin sebanyak sekarang.
Mengapa banyak penderita katarak kita yang baru dioperasi setelah menderita puluhan tahun? Tadi saya bertemu seorang bapak yang mengalami katarak di mata kanannya sejak usia 17 tahun dan baru dioperasi saat dia berusia 71 tahun.
Itu karena sebagian besar masyarakat memang tidak mengerti gangguan mata. Dan itu terkait erat dengan faktor pendidikan. Orang Indonesia itu kan tingkat pendidikannya rata-rata masih rendah. Sebagian besar lulusan sekolah dasar, bahkan tidak tamat SD. Itu juga menjadi tugas negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Tidak heran, sebagian besar pasien yang ditangani saat ini justru ditemukan oleh Ibu Shinta dan sukarelawannya yang blusukan ke kampung-kampung. Kalau tidak ditemukan, ya, jelas mereka tidak bisa ditangani. Sebab, mereka memang tidak punya biaya untuk operasi di rumah sakit.
Kita kan punya RT/RW yang bisa mendeteksi warga penderita kebutaan di kampung-kampung. Mengapa panitia baksos katarak perlu blusukan ke mana-mana?
Ini masalah kepeduliaan kita terhadap sesama. Sebaik apa pun sistemnya, kalau kepeduliaan kita kurang, ya, tidak akan jalan. Syukurlah, masih ada sejumlah relawan swasta yang mau blusukan mencari penderita katarak untuk ditangani dengan biaya dari kantong mereka sendiri. Solidaritas atau kesetiakawanan sosial ini harus ditumbuhkan kembali di tanah air.
Operasi katarak di Surabaya rata-rata 30 menit per pasien. Padahal, kabaranya, di India dan Nepal hanya perlu tiga menit. Mengapa bisa begitu?
Itu menyangkut skill dan teknologi. Kalau skill dokter spesialis mata Indonesia dengan dokter di negara-negara lain sih tidak berbeda jauh. Kita hanya kalah di bidang teknologi medis, medical technology. Makanya, kami meminta perguruan tinggi kita menciptakan teknologi medis guna mendukung kinerja kedokteran. Kita harus melakukan kerja simultan, tidak bisa jalan sendiri-sendiri. (rek)
Harus Rutin Periksa Mata
KATARAK merupakan penyebab kebutaan paling banyak di Indonesia. Menurut dr Hendrian D Soebagjo, spesialis mata dari RSUD dr Soetomo, Surabaya, semua orang berpotensi mengalami gangguan mata katarak karena berhubungan dengan proses penuaan alias aging process.
"Usia harapan hidup orang Indonesia semakin tinggi. Karena itu, peluang terjadi gangguan mata pun makin besar," ujar Hendrian di sela baksos operasi katarak di kawasan Wiyung, Surabaya.
Selain faktor usia, menurut dosen Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga ini, paparan sinar matahari ikut menyumbang gangguan mata. Tak heran, warga yang bekerja di tengah terik matahari, dengan paparan ultraviolet yang intensif, berpotensi mengalami gangguan penglihatan.
"Bisa juga karena kecelakaan, trauma, infeksi, atau virus. Tapi, yang paling banyak memang aging process," tutur dokter yang ramah ini.
Bagaimana dengan gizi?
Hendrian menjelaskan, kekurangan gizi atau vitamin A jelas mengganggu kesehatan mata. Namun, berdasar pengalamannya, faktor gizi ini kurang signifikan dalam kasus katarak. "Faktor gizi memang ada hubungannya, tapi tidak banyak," katanya.
Karena semua orang berpotensi mengalami gangguan mata, dokter yang juga aktif di Yayasan Kanker Indonesia (YKI) Jawa Timur ini mengimbau masyarakat untuk rutin memeriksakan mata ke dokter spesialis mata.
Yang paling mendesak adalah orang-orang yang merasa penglihatannya kabur perlahan-lahan maupun secara mendadak. Mata kabur itu sering tidak disadari karena prosesnya sangat lambat.
"Tapi banyak juga yang mendadak langsung kabur, bahkan tidak bisa melihat sama sekali. Kalau tidak segera ditangani, bukan tidak mungkin akan mengalami kebutaan seumur hidup," ucap alumnus SMAN 5 Surabaya ini.
Hendrian juga mengingatkan, banyak warga yang tidak sadar kalau salah satu matanya tidak berfungsi lagi. Sebab, selama ini dia bisa melihat hanya dengan sebelah mata. Nah, ketika diperiksa di klinik atau rumah sakit, baru diketahui bahwa salah satu matanya buta. "Kasus seperti ini banyak terjadi di masyarakat," katanya.
Karena itu, Hendrian mengimbau masyarakat untuk selalu mengecek penglihatannya sendiri. Caranya sederhana saja. Yakni, dengan menutup salah satu mata secara bergantian. Dengan begitu, ujar Hendrian, kita bisa mengetahui ketajaman penglihatan mata kiri dan kanan. (rek)
CV SINGKAT
Nama : dr Hendrian Dwikoloso Soebagjo SpM
Lahir : Surabaya, 20 Januari 1965
Anak : 3 orang
Profesi : Dokter spesialis mata RSUD dr Soetomo
Dosen : Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya
Kantor : Jalan Prof Dr Moestopo 6-8 Surabaya
Rumah : Kertajaya Indah Timur, Surabaya
E-mail : hendrians@yahoo.com
Organisasi
Persatuan Dokter Spesialis Mata (Perdami) Jawa Timur, Ketua Bidang Organisasi
Yayasan Kanker Indonesia (YKI) Jawa Timur, Ketua Harian
0 Response to "Dr Hendrian Soebagjo: Kebutaan di Indonesia Sangat Parah"
Posting Komentar