Seratus tahun lalu, 1913, terjadi tawuran di Paris, Prancis, gara-gara komposisi karya Stravinsky yang dianggap nyeleneh. Musik aneh. Melodi dan harmoninya tak jelas. Bikin penonton pusing. Kita bisa melihat suasana yang kacau itu lewat film berjudul Le Sacre du Printemps.
Stravinsky sangat mengutamakan ritme atau irama. Dia hanya punya melodi sederhana, kemudian melakukan pengolahan-pengolahan yang rancak. Penikmat musik dibuat lupa pada yang namanya lagu dan keselarasan harmoninya.
Birama pun dibuat tak beraturan. Aksen-aksennya jatuh pada tempat yang keliru. Maka pergelaran perdana karya Igor Stravinsky di sebuah gedung bergengsi di Paris bikin penonton stres. Kemudian bikin ulah karena merasa sudah bayar mahal. Pak Slamet memakai istilah tawuran di dalam gedung pertunjukan.
Komposisi Igor macam apa pula? Tawuran seperti apa? Nah, di PMS ini Pak Slamet membagikan partitur Le Sacre untuk dianalisis. Ini tentu membutuhkan kemampuan membaca not balok kelas pianis klasik atau guru piano. Tapi cara Pak Slamet menjelaskan sangat hidup, mudah diterima peserta nonpianis macam saya.
Suasana makin hidup setelah Pak Slamet, 78 tahun, memutar film tentang Igor Stravinsky. Film musikal yang menarik. Kita jadi tahu kehidupan Igor di Rusia, kemudian diajak pindah ke Paris, dibiayai tinggal di vila yang bagus bersama istri anak. Kemudian malah selingkuh sama nyonya yang membiayai dia.
Sang istri ngamuk dan minta pulang bersama anak-anaknya, sementara Igor tetap menciptakan komposisi-komposisi musik yang luar biasa. Vila antik itu, kata Pak Slamet, masih dilestarikan di Paris sampai sekarang.
"Prancis itu negara yang sangat menghargai sejarah. Mereka itu bangsa yang sangat berbudaya. Beda dengan kita di sini. Bangunan-bangunan tua yang bersejarah malah dihancurkan untuk bikin mal," kata Pak Slamet dengan suaranya yang halus tapi nyelekit.
Kuliah musik ala Slamet Abdul Sjukur tak hanya melulu soal analisis musik, tapi juga seni budaya, tata krama, etika, dan kehidupan. Pak Slamet kembali resah ketika ada peserta PMS yang membuka BlackBerry atau HP ketika film Stravinsky sedang diputar.
Dia juga marah ketika film panjang itu hendak distop karena memang ceritanya sudah selesai. Tinggal rangkaian nama-nama pemain dan pndukung pembuatan film itu. Orang yang berbudaya, kata Slamet, harus menikmati film itu sampai layarnya sudah benar-benar putih.
"Jangan kayak di bioskop-bioskop kita. Film belum selesai semua penonton sudah buru-buru pulang. Bahkan pengelola bioskop sudah menghidupkan lampu sehingga kita tidak bisa menikmati sampai benar-benar habis. Ini budaya orang Indonesia yang kesusu dan makin mengerikan," kata Pak Slamet.
Wah, kali ini saya kena sindir sangat telak. Saya termasuk orang yang selalu cabut lebih dulu dari bioskop ketika cerita film saya anggap sudah klimaks. Saya pun tak pernah membaca nama-nama puluhan, bahkan ratusan orang yang kerja bareng mewujudkan sebuah karya seni layar lebar.
Sent from my BlackBerry® via Smartfren EVDO Network
0 Response to "Menikmati Igor Stravinsky di PMS"
Posting Komentar