Sebelum 1990 hampir semua radio swasta di Jawa Timur berada di jalur AM. Kemudian satu per satu hijrah ke FM. Di Malang, Radio Kalimaya Bhaskara menjadi radio FM pertama.
Tahun 2000-an radio yang bermain di jalur AM hampir tak ada lagi karena kualitas suara FM jauh lebih bagus. Apalagi radio-radio FM ini sangat menonjolkan musik. Mana asyik menikmati musik di radio AM?
Dulu saya mengira tak ada lagi radio AM di Surabaya. Eh, ternyata saya keliru. Setiap kali menyaksikan wayang kulit saya selalu bertemu awak Radio Pertanian Wonocolo alias RPW yang mengadakan siaran langsung. Radio milik kementerian pertanian ini punya mobil siaran keliling sehingga mereka bisa bersiaran dari mana saja.
"Kami baru pulang dari Nganjuk, siaran langsung wayang kulit," ujar seorang penyiar senior RPW kepada saya.
Malam Selasa itu, 30 September 2013, kami menyaksikan pergelaran wayang kulit untuk sedekah bumi kampung Kapasan Dalam, Surabaya. Dalangnya The Boen Liong alias Ki Sabda Sutejo, dalang keturunan Tionghoa asli Kapasan.
Kru RPW pun menyiarkan pergelaran itu sampai pagi. Gayeng sekali suasananya khas kampung-kampung lama yang guyub. Tahun 2013 ini sudah 117 kali warga Kapasan yang mayoritas Tionghoa mengadakan sedekah bumi + wayang kulit semalam suntuk.
Setiap kali ada gelar wayang kulit, kata sang manajer siaran luar RPW Surabaya, pihaknya berusaha mengadakan siaran langsung. Apalagi wayang kulit sangat disukai penggemar radio yang berlokasi di Jalan Ahmad Yani Surabaya, samping Bulog Jatim, itu.
"Segmen pendengar kami memang warga menengah bawah, khususnya petani dan nelayan. Selera mereka memang beda dengan pendengar radio-radio lain di Surabaya," kata sang manajer itu.
Paling sedikit dua kali seminggu RPW menyiarkan wayang kulit semalam suntuk, yakni malam Jumat dan malam Minggu. Kalau tidak ada pergelaran, maka diputar rekaman. Tapi pihak radio lebih suka siaran langsung, khususnya dalang-dalang terkenal.
Lantas, mengapa tidak pindah saja ke jalur FM?
Manajemen RPW sebetulnya sudah lama mempertimbangkan hal ini. Tapi rupanya mereka masih betah di AM karena jangkauannya jauh lebih luas ketimbang AM. Pindah ke FM berarti radio informasi pertanian ini akan kehilangan sebagian besar pendengar karena komunitas petani itu berada di luar Kota Surabaya.
Selain itu, saat ini jalur FM sudah penuh sesak. Biaya peralatannya pun sangat mahal dibandingkan AM. Sementara kementerian pertanian tak tertarik untuk meng-upgrade radio ini menjadi radio yang modern.
Selain RPW, di Surabaya ada empat atau lima radio lagi yang bermain di jalur AM. Salah satunya radio milik yayasan Raden Rahmat di Kembang Kuning yang seratus persen berisi dakwah Islam. Orang Surabaya pun menjadikan radio ini sebagai acuan adzan untuk salat lima waktu.
Sent from my BlackBerry® via Smartfren EVDO Network
0 Response to "Radio Pertanian Wonocolo Setia di Jalur AM"
Posting Komentar