The Singapore of Surabaya dan Kota Pahlawan

blogger templates


Sentilan Prof Sri Edi Swasono di Jawa Pos hari ini, 25 Oktober 2013, mengingatkan saya pada almarhum Cak Kadar. Kadaruslan merupakan budayawan besar arek Surabaya, penggagas berbagai festival seni budaya di Kota Pahlawan.

Dalam sebuah obrolan di kantor Pusura, depan DPRD Surabaya, Cak Kadar menyampaikan kegundahannya tentang patung-patung atau ikon-ikon di Surabaya yang makin lama makin ngawur. Patung karapan sapi malah dipasang di Keputran, bukan patung pahlawan atau pejuang. "Karapan sapi itu cocoknya di Bangkalan," katanya.

Kemudian patung-patung dan bangunan bergaya Eropa atau Romawi di lokasi strategis. Lokasi yang dulu dijadikan ajang pertempuran antara arek-arek Surabaya dan penjajah Belanda dan sekutunya. Persis di depan Tugu Pahlawan muncul bangunan yang sama sekali mengabaikan sejarah pertempuran 10 Noember 1945.

Kemudian kawasan Surabaya Barat lebih heboh lagi. Yang dibangun justru patung merlion alias singa khas negara tetangga Singapura. Dibuat menyerupai aslinya di Xinjiapo sana. Ada air yang muncrat dari mulut sang singa.

Kawasan elite itu diberi nama The Singapore of Surabaya. Cak Kadar makin gundah karena cita-citanya sejak dulu agar Surabaya dibangun dengan konsep kota pahlawan, kota arek, kota perjuangan tidak diindahkan oleh para pengembang dan orang-orang kaya. Mungkin saja mereka lebih paham Singapura atau Eropa dan lupa bahwa Surabaya itu kota pahlawan.

Prof Sri Edi Swasono menulis artikel menjelang Sumpah Pemuda dengan judul SURABAYA MASIH KOTA PAHLAWAN? Cak Kadar sejak 1980an sudah sering mengulang-ulang gugatan yang sama. Gugatan agar pemerintah kota mau peduli dengan karakter dan sejarah kotanya.

Membaca tulisan Sri Edi Swasono, kita jadi paham mengapa dia, Cak Kadar, Cak Roes, Cak Gombloh dan tokoh-tokoh Surabaya lainnya gundah dengan konsep The Singapore of Surabaya. Pada 1968 dua marinis Indonesia bernama Usman dan Harun digantung pemerintah Singapura saat konfrontasi Dwikora.

Bung Hatta kirim surat agar kedu pahlawan kita itu tidak digntung. Tapi Singapura tetap mengeksekusi dua anggota TNI Angkatan Laut itu. Bung Hatta sang proklamator pun bersumpah tidak akan menginjakkan kakinya di Singapura seumur hidupnya.

"Sumpah ini dipegang tegas hingga akhir hayatnya," tulis Sri Edi Swasono yang juga menantu Bung Hatta.

Saya yakin pengembang Citraland bukanlah pemuja Singapura dengan berbagai ikon serta patung merlion. Pihak developer hanya ingin membuat citra, branding, bahwa kawasan hunian di Surabaya Barat itu sangat bersih, hijau, penuh taman, tertata apik, disiplin, tidak acak-acakan... seperti Singapura. Tidak lebih.

Tapi kita, orang Indonesia, memang terlalu mudah melupakan sejarah. Begitu banyak bangunan lama yang bersejarah di Surabaya sudah lama disulap jadi pusat belanja modern. Salah satu dari dua sinagoge di Indonesia yang di Jalan Kayoon Surabaya pun sudah rata tanah.

Pengusaha kita rupanya lebih mudah mengemas dagangannya dengan merek Singapore, merlion, Raffles, dewa-dewi Romawi ketimbang mengangkat ikon arek Surabaya.

Si pengembang top itu mungkin bertanya begini:

"Usman & Harun iku sopo? Arek Blauran, Kampung Malang, opo Pandegiling? Aku gak ngerti blas. Ngertiku ya singo merlion iku!"

Sent from my BlackBerry® via Smartfren EVDO Network

0 Response to "The Singapore of Surabaya dan Kota Pahlawan"

Posting Komentar