Saya selalu geleng-geleng kepala melihat kedekatan Bu Liang dengan binatang. Sedekat manusia. Seperti seorang ibu yang memberi perhatian total kepada bayi kesayangannya.
"Kuncinya dua: cinta kasih dan tanggung jawab," kata Bu Liang kepada saya tentang resepnya bertahan di dunia satwa di Kota Surabaya.
Minggu lalu, tiga ekor ikan di kolam ikan itu mati. Kepanasan. Surabaya akhir-akhir ini memang panas luar biasa siang hari. Ketika air di kolam berkurang karena penguapan dan diminum ikan-ikan itu, para satwa air itu seperti direbus saja.
Tahun lalu pun suasananya seperti itu. Tapi tidak ada ikan yang mati. Dua bulan ini sudah tujuh ikan saya yang mati. Rest in hot water! Mati kepanasan. Saya pun khawatir ikan-ikan lain akan menyusul kalau satwa air itu kurang perhatian.
Saya sering ke kawasan Kenjeran, Sanggar Agung, melihat orang Tionghoa mengadakan fangshen. Melepaskan binatang-binatang seperti burung, ikan, kura-kura kembali ke habitatnya di alam bebas. Ritual ini harus selalu dilakukan untuk menjaga keseimbangan alam. Intinya, jangan biarkan seekor pun binatang tersiksa di dalam sangkar atau kurungan.
Sebaik-baiknya sangkar, kolam, atau kandang, binatang-binatang itu lebih sejahtera hidup di alam bebas. Lihatlah burung-burung yang terbang dengan riang di alam. Mencari makan sendiri, berkembang biak, ikut menyumbang kehidupan di jagat raya ini. Begitu antara lain wejangan sang biksu Buddhis yang sering saya tulis di surat kabar.
Tapi saya sendiri tidak melakoni fangsen, melepasliarkan satwa. Itu kan tradisi buddhisme? Kita hormati pandangan, doktrinnya, sama seperti mereka pun menghargai tradisi kita yang bukan Buddha.
Nah, setelah ikan-ikanku mati kepanasan, karena air kolam menyusut, dan itu jelas kesalahan saya, akhirnya saya ingat tradisi fangshen Tionghoa di Pantai Kenjeran, Surabaya. Oh, ternyata saya tidak mampu memelihara ikan. Saya sering keluar kota, ngelencer sana sini, dan lupa memperhatikan ikan di kolam.
Ah, seandainya ikan-ikan itu dilepas ke sungai! Mereka tentu bebas berenang ke sana kemari, mencari makan sendiri, tak akan mati kepanasan. Meskipun, kita tahu, sungai di Surabaya ini sudah tercemar limbah rumah tangga, limbah industri, logam berat, dan sebagainya. Maka, saya pun berencana untuk melepas ikan-ikan itu (toh bukan ikan hias yang mahal) ke alam aslinya.
Tugas dan kewajiban moral yang besar juga harus diemban orang-orang yang memelihara burung, anjing, reptil, dan binatang apa saja di rumahnya. Harus bisa memastikan bahwa binatang-binatang itu tidak mati kepanasan, kelaparan, penyakit, dan sebagainya. Kalau suka ngelencer, tugas ke luar kota atau luar negeri, saya rasa sebaiknya di-fangshen saja. Dilepas ke alam bebas!
Yang pasti, saya sendiri tidak akan pernah memelihara burung karena trauma berat. Ketika masih bocah SD di pelosok NTT, dua burung peliharaan saya mati karena kelaparan. Lupa kasih makan!
Belajar dari pengalaman sederhana ini, ikan-ikan mati kepanasan di kolam, saya akhirnya bisa mengerti mengapa Mas Rosek dan kawan-kawan dari Pro-Fauna sangat getol meminta warga Jawa Timur untuk menyerahkan satwa-satwa peliharaannya ke BKSDA, khususnya yang dilindungi seperti orang utan atau jalak bali, agar dikembalikan ke habitatnya. Juga melarang segala bentuk eksploitasi binatang berupa animal show seperti topeng monyet, sirkus binatang, dan sebagainya.
0 Response to "Ikan-ikan yang mati kepanasan"
Posting Komentar