Budaya mempekerjakan PEMBANTU memang sudah mendarah daging di Indonesia. Tuan-tuan Belanda dulu punya banyak JONGOS untuk mengurus rumah mereka yang sangat besar. Jongos alias kacung londo ini bahkan sangat bangga karena punya penghasilan tetap ketimbang petani-petani di desa yang penghasilannya tak menentu.
Di luar Jawa, khususnya NTT, jongos ini biasa disebut OPAS. Dan mereka bangga pakai predikat ini. Maka ada orang tua yang bernama Opas Frans, Opas Belen, Opas Mekin, dan sebagainya.
Opas kok bangga? Yah, zaman dulu opas-opas ini jadi pesuruh atau kaki tangan aparat Belanda dan punya kekuasaan. Dia lebih tinggi ketimbang bumiputra biasa alias inlander.
Selama liburan Lebaran ini saya iseng-iseng membaca novel pop lawas karya Motinggo Busye terbitan 1980an. Ringan tapi asyik dan lincah. Almarhum Motinggo adalah pencerita ulung yang sangat piawai mengaduk emosi pembaca disertai bumbu humor yang pas. Plus bumbu asmara dan adegan ranjang.
Nah, Motinggo Busye ini saya perhatikan banyak menggunakan kata BABU di semua novelnya. Memang tokoh-tokoh si Motinggo ini selalu orang berpunya yang rumahnya besar, punya mobil, punya babu. Begini petikan kalimat Motinggo Busye di novel berjudul Senyum Duka Doktoranda Linda:
"Di rumah Kidung tidak ada orang. Hanya dua orang BABU dan seorang tukang kebun. Kata BABU, ibu Kidung sedang ke rumah sakit memeriksakan adik Kidung yang masih bayi."
Dari sini kita bisa melihat bahwa istilah BABU pada tahun 1980an bersifat netral, tidak kasar. Tak ada kesan merendahkan. Pekerjaan babu rupanya dibedakan dengan tukang kebun. Rupanya babu itu hanya mengurus rumah tangga, memasak, bersih-bersih rumah, cuci piring, umbah-umbah dan sebagainya. Tukang kebun khususnya bekerja di kebun atau taman milik si majikan.
Makin lama terjadi eufemisme di Indonesia pada era 1990an. Harga naik dibilang disesuaikan. Ditangkap polisi dibilang diamankan. Kata BABU yang tadinya netral pun dihaluskan menjadi PEMBANTU. Tapi di Surabaya saya masih sering dengan beberapa majikan menyebut pembantunya dengan BATUR. Yang begini ini biasanya kelas priyayi lama, nyonya rumah era 70an dan 80an.
Kata pembantu pun dianggap kurang halus. Tak enak di kuping. Maka diperhalus lagi menjadi PRT: pembantu rumah tangga! Dengan menggunakan akronim, makna sesungguhnya bisa lebih tersamar. Sejak 1990an boleh dikata tidak ada lagi media massa menggunakan kata BABU atau batur atau jongos.
Beberapa tahun lalu ada seorang pejabat di Surabaya yang marah-marah, mau menggugat sebuah koran lokal, gara-gara disebut JONGOS. Menurut pejabat itu, kata jongos sangat kasar sehingga tidak layak digunakan untuk menyebut dirinya. Koran itu kemudian minta maaf dan melakukan koreksi seperlunya alias memberi hak jawab.
Istilah PRT yang berarti pembantu rumah tangga pun rupanya masih dianggap kurang halus oleh kementerian tenaga kerja. Kementerian ini mengimbau semua pihak, khususnya wartawan, untuk mengartikan PRT sebagai penatalaksana rumah tangga. Sebab kerja PRT itu urusan housekeeping.
Sementara itu, para aktivis perempuan dan buruh migran juga meminta media massa untuk menyebut PRT sebagai pekerja rumah tangga. Jangan disebut pembantu.
"PRT itu pekerja, bukan pembantu yang bisa disuruh bekerja sekehendak hati majikan. Mereka harus punya kontrak kerja, hak normatif, upah minimum, seperti pekerja industri atau pabrik," kata seorang aktivis perempuan di Surabaya.
Aktivis ini menegaskan bahwa pekerja rumah tangga itu berbeda dengan pembantu atau babu atau batur atau jongos. Babu tak punya posisi tawar, penghasilannya tergantung belas kasihan majikan. Sementara pekerja rumah tangga punya hak dan kewajiban yang jelas.
Sent from my BlackBerry® via Smartfren EVDO Network
0 Response to "Babu, batur, pembantu, jongos, opas"
Posting Komentar