Televisi menawarkan kehidupan yang bergegas, serbacepat, dan kini pun diamalkan wong ndeso. Bre Redana menulis: "Proses alam menanti bersemainya bibit sampai memanen, yang berarti harus bersetia pada kesabaran bumi, sudah lama menjadi hal yang asing."
Ah, saya selalu ingat raskin, berat untuk rakyat miskin, yang jadi tumpuan harapan orang-orang desa di NTT dalam beberapa tahun terakhir. Raskin ini harganya Rp1000, sekarang 2000. Kualitasnya memang buruk, tapi menurut orang-orang di kampung saya di pelosok Flores Timur, jauh lebih baik daripada makan jagung, singkong, atau ubi jalar.
Sejelek-jeleknya beras miskin, yang banyak kotoran itu, jauh lebih bergengsi ketimbang jagung. Padahal bumi Lamaholot hanya bisa menumbuhkan jagung dan ubi-ubian, bukan padi. Tanaman padi membutuhkan irigasi dan itu tak ada di sana.
Tapi apa mau dikata, kesabaran orang desa untuk menunggu proses alam bercocok tanam, menyiapkan ladang, cari bibit, menanam, menyiangi rumput sudah jadi barang asing di kampung. Buat apa menanam jagung kalau sudah ada bantuan raskin dari pemerintah.
Maka saya pun kecewa berat ketika mudik ke pelosok NTT. Sungguh, tak ada nasi jagung yang bisa kita nikmati seperti ketika saya masih bocah dulu. Anak-anak muda di NTT sudah lama tidak makan jagung. Pun sudah lama tak bekerja di kebun.
Desa, sebagaimana kehidupan, tidak pernah statis. Itu yang rupanya dilupakan mantan orang-orang desa yang sekarang bekerja di kota-kota besar macam Jakarta, Surabaya, Kuala Lumpur, atau Kota Kinabalu. Budaya konsumerisme kota pun sudah lama dinikmati keluarga besar kita di desa.
Ketika saya minta dibuatkan kopi di Flores Timur, saya geli sendiri karena bubuk kopi yang diseduh ternyata cap Tugu Buaya produksi Gresik, Jawa Timur. Mana kopi asli yang khas yang dulu disangrai kemudian digiling di rumah-rumah penduduk? Nothing! Tak ada lagi.
"Capek kalau harus membeli biji kopi dan menggoreng sendiri. Lebih cepat membeli di toko," kata orang desa di kampung saya.
Yah, memang capek dan lama. Butuh proses, tenaga, kesabaran. Dan itulah yang makin hilang di kampung-kampung tempat jutaan orang kota mudik hari raya.
Sama seperti seniornya di kota, Bre Redana menulis, anak-anak kecil di desa sudah doyan naik sepeda motor ke mana-mana tanpa mengenal aturan. Di NTT anak-anak ini bahkan tidak perlu pakai helm, bawa SIM/STNK, bahkan tak perlu ada plat nomor.
"Di sini kitong bebas sa ke mana-mana. Polisi sonde tangkap kitong," kata tukang ojek yang mengantar beta ke Bandara Eltari, Kupang.
Kalau ibu kota provinsi saja peradaban berlalu lintasnya macam ini, apa lagi di kampung-kampung pelosok yang memang tidak ada polisinya.
Kita, orang desa yang sudah terlalu lama di kota, sering pangling dengan perubahan budaya di kampung halaman sendiri. Saya pun sempat kesasar ketika mencari rumah sendiri di kampung.
Sent from my BlackBerry® via Smartfren EVDO Network
0 Response to "Desa yang makin bergegas"
Posting Komentar