Menteri Agama Suryadharma Ali memberi syarat khusus kepada umat Syiah itu kalau mau pulang. Harus dicerahkan dulu, disamakan persepsi. Persepsi apa? Tentu masalah doktrin atau teologi.
Intinya, Iklil dkk harus taubat nasuha alias kembali ke jalan yang benar dan cerah. Kembali ke ajaran Islam Sunni yang dianut masyarakat Indonesia, khususnya Madura, dari generasi ke generasi. Apakah Pak Menteri bisa dan timnya bisa mencerahkan Iklil dan jemaahnya?
Masalah SARA di Sampang ini sebetulnya sederhana tapi bisa sangat rumit. Sebab lokusnya di desa, kampung yang homogen, melibatkan sanak keluarga. Juga sudah dianggap mengganggu kenyamanan masyarakat mainstream.
Dari perspektuf human rights sudah jelas kasus ini melanggar HAM. Siapa pun bebas menganut agama atau keyakinan yang disukai. Tak boleh diusir dari kampung halaman. Rumah, harta benda, dibakar dan sebagainya.
Tapi human rights hanya bisa berlaku di kota besar yang masyarakatnya memang heterogen. Di kota sebesar Jakarta sekalipun sejumlah gereja ditutup, kebaktian diganggu, minoritas agama belum bisa bebas sepenuhnya kayak di USA. Apalagi di Sampang, kabupaten paling tertinggal di Jawa Timur.
Homogenitas orang desa yang punya akar budaya sama, kawin mawin dari generasi ke generasi, punya paham agama sama, adat istiadat sama... sulit memberi ruang kepada the others. Khususnya aliran atau sekte yang dianggap sempalan dari arus utama (mainstream).
Masyarakat desa yang homogen tiba-tiba terusik kenyamanannya. Kok ada aliran kayak begini? Kok dia menjelekkan kita? Bukankah kita yang paling benar?
Kasus semacam ini pernah terjadi di Flores tahun 1990an. Orang-orang kampung di daerah saya di Flores Timur sejak dulu ya beragama Katolik. Tidak ada yang namanya protestan, pentakosta, karismatik, baptis, advent, pentakosta baru dsb. Tradisi katolik pun bercampur baur dengan adat leluhur Lamaholot.
Suatu ketika ada orang Flores pulang kampung setelah merantau lama di Jawa. Bawa istri orang Jawa, anak, dan agama baru. Tepatnya denominasi Kristen evangelical yang doktrinnya sangat tidak ramah dengan Katolik. Setelah murtad dari Katolik, orang Flores itu malah jadi penginjil yang sangat anti-Katolik. Lebih parah ketimbang pendeta yang asli Protestan sejak generasi kakek neneknya.
Orang kampung pun heran bukan main. Kok jadi gini? Apalagi dia rajin menginjili orang-orang kampung, yang semuanya Katolik, agar segera bertobat. Sebab menurut dia ajaran Katolik itu salah. Doktrin yang benar dan menjamin masuk surga adalah ajaran gereja evangelical itu.
Mula-mula orang kampung menganggap dia ini masuk angin atau stres ringan. Eh, tambah lama tambah menjadi-jadi sehingga warga pun hilang kesabaran. Mr X ini diminta segera kembali ke Jawa karena dianggap meresahkan masyarakat. Dia lebih cocok di kota daripada di desa tradisional yang homogen itu.
Ustad Tajul Muluk yang menyebarkan Syiah di Sampang pun kira-kira mengalami persoalan serupa. Dilahirkan sebagai putra kiai dengan tradisi Sunni, Tajul merantau dan belajar Syiah di luar negeri. Doktrin yang berbeda dengan yang dianut di hampir semua umat Islam di Indonesia.
Kembali ke kampung halaman di Madura, Tajul buka pesantren dan menanam benih-benih Syiah. Rupanya masyarakat dan ulama setempat terlambat tanggap sehingga benih-benih ini makin besar dan mulai berbuah. Umatnya sudah mencapai 300-500 orang. Jelas masyarakat setempat terkejut dengan munculnya ajaran yang berbeda dengan yang dianut mayoritas warga itu.
Dan kini jadi masalah serius yang melebar ke mana-mana karena mendapat sorotan dunia internasional. Presiden SBY pun ikut pusing sehingga merasa datang ke Surabaya untuk membahas persoalan ini pekan lalu. Tapi belum ada solusi yang mujarab selain kebijakan pencerahan dan penyamaan persepsi dari menteri agama.
Sent from my BlackBerry® via Smartfren EVDO Network
0 Response to "Masalah Syiah di Sampang memang ruwet"
Posting Komentar