Pulau Solor yang merana

blogger templates

Tiba-tiba saya teringat Solor, pulau kecil di Kabupaten Flores Timur, NTT. Panjangnya kira-kira 60 km, lebar 15-20 km. Ketika masih SMP di Larantuka, ibu kota Flores Timur, saya beberapa kali berkunjung ke sana.

Solor tercatat dalam sejarah petualangan kolonial Portugis dan Belanda. Ada benteng Fort Hendrikus, reruntuhan seminari Katolik pertama di Indonesia, tapi ada juga dua kerajaan Islam terkenal, yakni Lohayong dan Lamakera.

Sampai sekarang nelayan Lamakera, bersama Lamalera di Pulau Lembata, punya tradisi berburu ikan paus di Laut Sawu. Menombak mamalia laut itu dengan alat yang sangat sederhana.

Sayang, sejak dulu Solor ini tergolong pulau kecil yang infrastrukturnya paling parah di NTT. Tahun 1980an dan 1990an jalan rayanya berantakan, kendaraannya hanya satu dua saja. Ini membuat kampug-kampung di Solor terisolasi satu sama lain. Orang Solor lebih sering ke Larantuka dengan perahu ketimbang ke kampung-kampung di pulau yang sama.

Minggu lalu ada surat pembaca di Kompas yang mengeluhkan kondisi jalan raya di Pulau Solor. Aha, ternyata sampai sekarang infrastruktur Solor tak berubah pula. Ironis karena Solor itu pulau pertama di NTT yang pertama kali dijamah peradaban Eropa. Solor bahkan kalah dengan Pulau Alor dan Pulau Pantar yang pembangunannya lebih menjanjikan.

Harian Kompas 7 Agustus 2013 juga kembali mengenang jejak peradaban Solor yang populer pada abad ke-14 sampai 16 dengan hutan cendana. Keharuman cendana membuat Portugis dan Belanda berebut pulau kecil yang berbukit-bukit itu.
 
Masih adakah sisa cendana di Solor? Dulu saya tak pernah melihat dan mendengarnya. Namun di Kompas ada foto pohon cendana di halaman rumah penduduk. Mungkin tinggal beberapa batang yang tersisa. Orang Flores Timur selama ini hanya tahu Solor sebagai penghasil mandike alias semangka yang kurus tapi manis.

Kalau memang Pulau Solor punya tanah dan topografi yang cocok untuk tanaman cendana, mengapa tidak digarap secara serius? Ini tidak mudah mengingat kultur budidaya cendana sudah lama hilang dari Solor. Tapi ada baiknya Bung Yosef Lagadoni, mantan wartawan yang sekarang menjadi bupati Flores Timur, mau memperhatikan Solor yang eksotik itu.

Seperti ditulis Kompas, begitu banyak rintisan budidaya pertanian oleh misionaris Katolik dan Protestan yang telantar setelah diambil alih pemerintah. Maka harum kayu cendana di Solor pun hanya menjadi cerita nostalgia belaka.

Sent from my BlackBerry® via Smartfren EVDO Network

0 Response to "Pulau Solor yang merana"

Posting Komentar