Rektor Universitas Widya Kartika, Surabaya, Dr Murphy Josua Sembiring belum lama ini mengeluarkan larangan bagi para dosennya menggunakan bahasa Jawa saat memberikan kuliah. Maklum, banyak mahasiswa di kampusnya yang berasal dari luar Jawa yang tidak paham bahasa Jawa. Bahkan, mahasiswanya keturunan Tionghoa, yang dominan di kampus itu, pun banyak yang kurang paham bahasa Jawa.
“Penggunaan bahasa Jawa itu menimbulkan perasaan tidak nyaman. Paling tidak, mahasiswa luar Jawa jadi susah mengerti penjelasan yang diberikan,” kata Murphy.
Murphy sendiri berasal dari Sumatera Utara, tepatnya Karo. Dia jelas cukup paham bahasa Jawa karena sudah lama menjadi warga Surabaya. Dulu, dia aktif melakukan advokasi bagi kalangan pekerja seks di Kota Surabaya. Namun, dia juga tinggal cukup lama di Jayapura, Papua.
"Jadi, saya bisa memahami kesulitan para mahasiswa Papua yang kuliah di Surabaya dan kota-kota lain di Jawa. Dosen-dosen di Jawa ini terlalu banyak menggunakan ungkapan bahasa Jawa," katanya.
Rupanya, Murphy Sembiring terlalu berlebihan. Seperti yang pernah saya alami selama bertahun-tahun, dosen-dosen di Jawa Timur sebetulnya memberikan kuliah dalam bahasa Indonesia standar. Bukan bahasa Jawa. Bahasa Jawa yang disoroti Pak Rektor Uwika itu sebetulnya hanya beberapa ungkapan sederhana saja, guyonan, sekadar bumbu penyedap.
Bahasa Jawa tidak pernah dipakai untuk ragam formal, apalagi perkuliahan yang sangat akademis. Bahasa Jawa Suroboyoan apalagi. Justru ungkapan-ungkapan Jawa yang sederhana itu membawa suasana lebih intim dan gayeng. Orang Papua, Flores, Batak, Kalimantan, Sulawesi... pasti cepat menguasai kata-kata sederhana bahasa Jawa informal itu dalam waktu sangat singkat.
Berbeda dengan bahasa Jawa Pojok Kampung, sebutan bahasa Jawa Suroboyoan, bahasa Jawa standar tergolong sulit karena ada ragam ngoko, kromo madya, kromo inggil. Bahasa Jawa standar ini hanya dipakai di Jawa Tengah, Jogjakarta, dan beberapa daerah di Jawa Timur bagian barat alias Mataraman seperti Bojonegoro, Madiun, Ponorogo, Trenggalek, dan seterusnya.
Orang Surabaya, termasuk dosen-dosen Widya Kartika, setahu saya tidak fasih berbahasa Jawa Mataraman ini. Jangan heran, majalah berbahasa Jawa seperti Panjebar Semangat dan Joyo Boyo tak banyak dibaca orang Surabaya karena bahasa Jawanya dianggap asing dan sulit.
Saya kasih contoh petikan kitab suci Perjanjian Baru dalam bahasa Jawa:
"Ibu, sampun ndawuhi kula nindakaken menapa-menapa, jalaran samenika dereng dumugi wekdalipun."
Ayo, dosen-dosen Uwika yang terhormat, yang sebagian besar beragama Kristen/Katolik, apa artinya kalimat itu? Siapa yang mengucapkan? Di mana?
0 Response to "Bahasa Jawa dilarang di kampus Widya Kartika"
Posting Komentar