"Aku benci baca not angka!" Begitu tulisan seorang pianis remaja 12 tahun di Surabaya di blognya.
Benci not angka? Bukankah not angka lebih mudah? Mungkin orang-orang awam, yang bukan pemusik, heran. Tapi memang para pemusik profesional, khususnya yang ikut kursus musik klasik sejak usia empat atau lima tahun, not angka itu sangat buruk. Tak cocok untuk menotasikan musik yang kompleks.
"Baca not angka itu gak asyik, malah bisa kacau permainan kita," kata remaja belasan tahun, Tionghoa Surabaya, yang sering curhat di Twitter itu. Dia merasa aneh mengapa di Indonesia ini orang masih menggunakan not angka untuk menulis lagu, bahkan musik.
Salah kaprah not angka ini memang sudah berlangsung selama puluhan, bahkan ratusan tahun, di Indonesia. Contoh paling jelas adalah buku-buku nyanyian liturgi atau gerejawi di Indonesia. Kebetulan saya sudah lama memelototi buku-buku nyanyian gerejawi dari berbagai denominasi gereja di Indonesia.
Di lingkungan Katolik, buku MADAH BAKTI atau PUJI SYUKUR yang dipakai di Jawa saat ini menggunakan not angka. Buku nyanyian JUBILATE, kemudian direvisi menjadi YUBILATE, yang dipakai di Flores sejak tahun 1950-an pun bernot angka.
Buku SYUKUR KEPADA BAPA yang dipakai ketika saya masih SD dan SMP di Flores pun pakai not angka. Buku yang lebih tua lagi seperti KANTAR SERANI di Flores Timur pun not angka. Buku KIDUNG ADI untuk nyanyian liturgi umat Katolik di Jawa yang berbahasa Jawa pun pakai not angka.
Orang-orang di kampung saya, pelosok Flores Timur, malah tidak mengenal not balok. Tapi, kalau dikasih partitur not angka, mereka bisa langsung menyanyikan dengan baik. Maka, tidak heran sebagian besar orang Flores yang tinggal di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Papua, Malaysia Timur selalu menjadi anggota paduan suara, bahkan pelatih kor. Coba dikasih partitur not balok, saya jamin orang-orang Flores itu tak akan bisa membaca dengan lancar.
"Kalau pakai kunci C atau G beta masih bisa membaca karena masih sederhana. Tapi kalau sudah dua kres, dua mol, apalagi yang lebih dari tiga kres atau tiga mol... hancurlah beta," kata beta punya teman asal NTT.
Di lingkungan gereja-gereja bukan Katolik seperti Protestan, Pentakosta, Baptis, Advent, Karismatik, Bala Keselamatan... pun buku-buku nyanyiannya pakai not angka. Buku KIDUNG JEMAAT atau NYANYIAN KEMENANGAN IMAN atau buku kidungan berbahasa Jawa di GKJW pun pakai not angka.
Di gereja-gereja aliran karismatik alias Gereja Haleluya malah tidak ada buku nyanyian resmi. Tidak ada notasi angka atau balok. Yang ada cuma tayangan syair di layar besar. Jemaat yang hadir cukup menirukan lagu yang dibawakan si pemimpin pujian. Toh, puji-pujian ala karismatik ini biasanya dinyanyikan berulang-ulang dalam waktu yang lama.
Satu-satunya gereja di Indonesia yang buku nyanyiannya pakai not balok adalah gereja-gereja komunitas Tionghoa. Misalnya, Gereja Kristen Abdiel dan Gereja Kristus Tuhan di Surabaya. Lagu-lagu di gereja Tionghoa itu ditulis dalam partitur yang lengkap. Partitur paduan suara, sopran, alto, tenor, bas ditulis dengan not balok.
"Pianis profesional akan lebih mudah memainkannya daripada pakai not angka," ujar seorang tokoh gereja Tionghoa di Surabaya, yang juga guru musik klasik terkenal, kepada saya.
"Not angka itu hanya cocok untuk anak-anak," sang musisi ini menambahkan.
Para pemusik klasik, khususnya anak-anak dan remaja, yang saya temui mengaku lebih gampang membaca not balok ketimbang not angka. Sebaliknya, orang awam, bahkan pemimpin paduan suara di gereja-gereja, yang tak pernah belajar musik klasik secara formal dan informal, malah sama sekali tidak bisa membaca not balok. Ini tergantung pembelajaran sejak usia dini.
Ada baiknya pembelajaran musik di sekolah-sekolah di tanah air lebih menekankan not balok. Bukan apa-apa. Di negara-negara lain not angka ini tidak dikenal, termasuk di gereja.
Sejumlah mahasiswa Katolik atau TKI yang beragama Katolik di Taiwan sering curhat di internet hanya karena tidak mampu membaca not balok di buku nyanyian liturgi di Taiwan.
"Di Gereja Katolik di Kota Taipei ini lagu-lagunya ditulis dengan not balok. Not angkanya enggak ada. Wong not angka aja aku enggak lancar baca, opo maneh not balok," kata seorang gadis, mantan dosen sebuah universitas swasta di Surabaya, yang sedang menempuh pendidikan doktoralnya di Taiwan.
0 Response to "Not Angka dan Not Balok di Gereja"
Posting Komentar