Dulu, sebelum tahun 2000, televisi merupakan barang langka, dan mewah, di Nusa Tenggara Timur (NTT). Pada era TVRI sebagai satu-satunya stasiun televisi, ada kabupaten yang jumlah televisinya tak sampai LIMA biji. Semuanya milik pengusaha Tionghoa.
Maka, orang dari kampung halaman saya rame-rame datang ke Lewoleba, ibukota Kabupaten Lembata, untuk menonton Dunia Dalam Berita. Terima kasih kepada baba-baba Tionghoa yang berbaik hati menjadikan teras depan rumahnya sebagai ajang nonton bareng televisi hitam putih.
Langkanya televisi ini bukan semata karena tak punya, terlalu miskin, tapi lantaran tidak ada BTS. Satu-satunya BTS di Botung, Kecamatan Adonara Timur, yang dihalangi banyak bukit dan gunung. Maka, beberapa televisi yang dikirim para perantau Malaysia ke kampung halaman pun hanya disimpan saja di kantor desa. Dipasang antena super tinggi pun tak ada sinyal.
Maka, ketika TVRI tempo doeloe muncul orang NTT sebagai penyiar atau pembaca berita, wah, senangnya bukan main. Kok bisa ya orang kita jadi penyiar TVRI. Bukan main si bapak itu! Demikian orang-orang kampung di pelosok Flores Timur bergumam senang.
Bukan apa-apa, saat itu ada HASAN AZHARI ORAMAHI, asal Kabupaten Alor, NTT, tampil di Dunia Dalam Berita TVRI. Suaranya pun lumayan enak, cukup oke. Hasan Azhari Oramahi ini lumayan mengangkat kebanggaan orang-orang NTT. Wow, kita pun ternyata tidak kalah sama orang Jawa!
Cukup lama tak terlihat penyiar atau presenter asal NTT di televisi. Kemudian munculah HELMI JOHANNES di RCTI. Si Helmi ini putra mendiang Prof Johannes, tokoh asal Pulau Rote, yang namanya diabadikan menjadi nama rumah sakit di Kupang. Lagi-lagi orang NTT senang. Orang kulit gelap bisa jadi penyiar di televisi nasional yang terkenal pula.
Pada akhir 1990-an, khususnya setelah reformasi, makin banyak orang NTT yang bekerja sebagai wartawan TVRI dan berbagai televisi swasta. Bahkan, tetangga satu kampung saya pun jadi reporter SCTV yang dulu sangat terkenal dengan Liputan Enam. Tapi rata-rata mereka bekerja di belakang layar.
Yang paling terkenal tentulah Don Bosco Selamun, asal Flores Barat, yang pernah menjadi pemimpin redaksi SCTV, kemudian Metro TV, dan beberapa televisi lagi. Posisi yang boleh dibilang luar biasa mengingat saat ini masih jauh lebih banyak kampung di NTT yang belum bisa menangkap sinyal televisi.
Nah, yang mengejutkan dan bikin heboh adalah JEREMY TETI. Bujang lawas ini kelahiran Atambua, Kabupaten Belu, NTT, yang berbatasan dengan Timor Leste. Perjuangannya menjadi penyiar televisi ke Jakarta juga tak lepas dari beberapa senior macam Hasan Azhari Oramahi di TVRI.
Bermodal nekat, wong kampung ini benar-benar berjuang dari bawah. Kehabisan uang, tidur di terminal, tahan lapar, dijalani presenter yang belakangan kondang di YouTube itu. Gaya bicaranya yang khas, huruf R ditekan panjang, ada iramanya... membuat Jeremy Teti jadi unik, nyeleneh, tapi malah disukai banyak orang.
Dulu, saya pikir si Jeremy Teti ini sengaja dipasang tengah malam karena kalah bersaing dengan presenter-presenter SCTV lainnya. Eh, ternyata si Jeremy malah jadi kondang justru karena membawakan berita ketika sebagian besar orang sudah tidur.
Kalau di televisi, presenter berita atau penyiar asal NTT masih bisa dihitung jari dua tangan, di media cetak jauh lebih banyak. Dan tersebar merata di media besar, sedang, hingga kecil.
Yang paling top tentulah RIKARD BAGUN, pemimpin redaksi harian KOMPAS yang berasal dari Flores Barat alias Manggarai. Sebelumnya, CYPRIANUS AUR, pemimpin redaksi SUARA PEMBARUAN, Jakarta, pun orang NTT.
0 Response to "Jeremy Tety penyiar unik dari NTT"
Posting Komentar