Orang Tua Dititipkan di Panti Jompo

blogger templates
Sabtu pagi, 15 Juni 2013. Saya diajak Bu Shinta mengikuti tim paduan suara ibu-ibu binaannya (hampir semua Tionghoa) berkunjung ke Panti Surya, Jalan Jemur Handayani XII/19 Surabaya. Sebuah rumah penampungan para lansia milik Gereja Kristen Indonesia (GKI).

Bu Shinta memang sejak dulu sangat peduli dengan para lansia yang berada di panti jompo atau griya lansia di Kota Surabaya. Dia membawakan paket makanan, sabun, pasta gigi, mi, obat-obatan, dan angpao. Juga tukang pijat tunanetra untuk mengurut otot-otot para lansia.

"Kita perlu hibur oma-opa itu. Mereka itu kelihatan bahagia, tapi sebetulnya kesepian. Mereka seperti ditelantarkan anak-anak dan cucu-cucu meskipun biaya bulanan ditanggung anak cucu," kata ibu yang piawai menyanyi seriosa, khususnya lagu-lagu berbahasa Italia itu.

Bu Shinta punya paduan suara yang dilatih seorang jawara seriosa internasional. Kor ibu-ibu ini kemudian ditampilkan di hadapan para lansia. Satu per satu anggota kor juga menyanyi di depan penghuni panti werda. Mengajak joget bersama, tepuk tangan, membawakan puji-pujian rohani, melawak agar para oma-opa bisa tertawa.

Bu Herlina, pengurus Panti Surya, menyebutkan panti yang didirikan pada 1973 ini dihuni 78 lansia. Sebagian besar dari Surabaya. Tapi ada juga yang dari Jakarta, Solo, Semarang, Jogja, bahkan Maluku. Mengapa begitu jauh para lansia itu dititipkan di Surabaya Selatan?

"Yah, tergantung anak-anak mereka. Ada yang datang sendiri karena panti ini memang sudah dikenal di kalangan gereja-gereja Kristen Protestan. Kami pun melayani mereka sebaik mungkin seperti keluarga sendiri," kata Bu Herlina yang lahir di Sumenep, Madura, itu.

Lagu-lagu nostalgia pun terus berkumandang. Ada seorang opa menyanyikan NASI GORENG, lagu jenaka bersyair bahasa Belanda campur Jawa campur Indonsia. Suasana jadi meriah dan lucu. Oma Caroline dari Ambon maju menyanyikan lagu pujian khas anak Sekolah Minggu: Kerja Buat Tuhan Selalu Manise!

Suasana makin meriah ketika paduan suara membawakan REK AYO REK. Beberapa oma dan opa maju menyanyi dan joget bersama. Saya pun ikut joget dengan gerakan-gerakan konyol. Lumayan buat menghibur Oma Caroline yang sempat saya goda cukup lama. "Kamu bisa joget ya?" Hehehe....

Di balik suasana cair ini, sebetulnya saya nelangsa mendengar cerita beberapa oma opa. Sebagian besar merasa hampa di usia senja. Padahal, banyak penghuni panti ini dulunya pengusaha kaya, punya mobil banyak, rumah mewah, anak-anak sukses, dan sebagainya. Seorang pengusaha top zaman dulu stroke, hanya duduk di kursi roda.

Kok gak tinggal sama anak-anak saja? "Mereka tidak punya waktu untuk ngurus orang tua kayak kami ini. Ikut anak itu malah tambah stres. Bikin cepat mati saja," kata seorang opa.

"Anak-anak saya sibuk kerja di luar negeri. Di rumah saya dibiarkan sendiri saja. Makanya lebih enak tinggal di sini. Banyak teman," seorang oma menambahkan. "Jadi orang itu banyak nggak enaknya," kata yang lain lagi.

Begitulah. Para oma opa di panti jompo memang selalu curhat karena kesepian di ujung usia. Anak-anak tak punya waktu lagi melakukan "bakti sosial" untuk insan yang telah melahirkan dan telah membesarkannya. "Saya tida mau tinggal di Solo. Males," kata penghuni panti asal Solo.

Usai kunjungan ke panti jompo, saya masih mengingat wajah-wajah usiawan alias para lansia itu. Mereka memang hidup dengan teratur, punya jadwal tetap, banyak beribadah, baca Alkitab, dekat dengan Tuhan... tapi tidak dekat dengan keluarga inti.

Mungkin inilah siklus hidup manusia, dukacita, yang harus kita jalani sebagai makhluk ciptaan Tuhan. SAKIT... menjadi TUA... dan kembali ke pangkuan Sang Pencipta.

Saya pun teringat penggalan syair Gibran yang sudah klise itu: ANAKMU... BUKAN ANAKMU!

1 Response to "Orang Tua Dititipkan di Panti Jompo"