Gereja terlalu banyak di Jawa

blogger templates


Saya tergelitik membaca beberapa artikel di internet yang menyoal banyaknya bangunan gereja di Jawa. Salah satunya artikel Harja Saputra berjudul Benarkah Indonesia Sangat Intoleran kepada Kaum Minoritas di blognya yang pembacanya sangat banyak. 

Harja Saputra mengangkat data jumlah tempat ibadah agama-agama di Indonesia versi kementerian agama. Statistik itu  sering dipakai Menteri Agama Suryadharma Ali sebagai kartu as untuk merespons kritikan dari berbagai pihak tentang masalah human rights, khususnya seputar minoritas agama.

Rupanya Harja Saputra kurang paham masalah internal gereja-gereja di Indonesia, khususnya denominasi Protestan, Pentakosta, dan Karismatik yang makin booming di kota-kota besar. Di Surabaya, kalau gereja arus utama (manstream) seperti GKJW (Gereja Kristen Jawi Wetan) sih dari zaman dulu tidak banyak bertambah. Mana ada GKJW baru? Mana ada GPIB baru? GKI baru di Surabaya?

Gereja Katolik pun dari dulu, di Surabaya, cuma bertambah di perumahan baru. Di pinggiran kota. Itu pun sangat sedikit. Cuma Gereja Roh Kudus (Puri Mas, Rungkut) dan Gereja Santo Yakobus (Citraland, Surabaya Barat).

Kemudian ada fasum dari TNI Angkatan Laut untuk membangun Gereja Katolik Santo Paulus di Jalan Raya Juanda yang bergandengan dengan Pura Jala Siddi pada 2005. Yang lainnya ya gereja-gereja lawas. Paling lawas ada tiga, yakni di Kepanjen, Polisi Istimewa, dan Residen Sudirman karena dibangun sebelum Indonesia merdeka.

Nah, kalau gereja-gereja karismatik kayak Bethany, Mawar Sharon, dan sejenisnya.. ini baru fenomenal. Bukan karena umat Nasrani bertambah, banyak penganut baru, tapi gereja-gereja yang pecah kayak amuba. Satu jadi dua, dua jadi empat, empat jadi 10, dan seterusnya. Fenomena ini tidak lepas dari merebaknya paham teologi sukses atau teologi kemakmuran dari Amerika Serikat ke seluruh dunia.

Gereja-gereja Protestan lawas kayak GKJW, GPIB, atau GKI pun tidak bisa berbuat apa-apa. Apalagi PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia) yang sejatinya merupakan himpunan pengurus gereja-gereja lawas alias mainstream tadi. Jangan lupa, ketuanya PGI itu juga tokoh Protestan asal NTT bernama Pendeta Dr Andreas Yewangoe. Piagam Saling Mengakui dan Menerima yang dikeluarkan PGI pun tak mampu membendung lahirnya denominasi gereja baru.

Jadi, statistik kemenag yang dibeber Harja versi 2010 itu sudah pasti tidak valid lagi. Mengapa?

Gereja-gereja aliran karismatik tadi sudah membelah diri lagi. Karena konflik, beda pendapat, masalah hukum, dan sebagainya. Seorang pendeta di lingkungan karismatik atau pentakosta tidak mau jadi anak buah (pendeta muda, pendeta pembantu, asisten pendeta, apa pun namanya) untuk selamanya. Dia sejak awal bertekad jadi bos alias gembala. Maka, bila tiba saatnya, si anak buah itu akan membuka gereja baru.

"Seandainya semua orang Kristen yang bukan Katolik itu bergereja di GPIB (Gereja Protestan di Indonesia Barat), GKJW (Gereja Kristen Jawi Wetan), atau GKI (Gereja Kristen Indonesia), maka 15 atau 20-an gereja saja sudah cukup untuk menampung semua umat Kristen (bukan Katolik) di seluruh Kabupaten Sidoarjo. Sebaliknya, 100 gereja pun tidak akan cukup kalau jemaatnya ikut aliran baru," kata Om Yeremia, pemuka masyarakat NTT di Jawa Timur, yang jadi pengurus sebuah gereja Kristen Protestan arus utama (mainstream) di Sidoarjo.

Tentu saja mustahil mengharap orang-orang karismatik kayak Gereja Bethany mau bergabung dengan gereja-gereja lawas. Masalahnya sangat prinsip, soal doktrin. Contoh kecil: aliran karismatik menolak pembaptisan kanak-kanak dengan cara disiram sedikit air di kepala seperti yang dilakukan Protestan atau Katolik. Bethany dan sejenisnya menuntut pembaptisan selam. Maka, laki-laki Katolik tidak bisa menikah dengan gadis Bethany karena baptisan Katolik dianggap tidak sah.

Masih 101 doktrin lagi yang kurang pantas diceritakan di sini.

Gereja-gereja lama seperti Protestan dan Katolik sangat menekankan GEREJA dalam dua arti: (1) Persekutuan jemaat atau ecclesiorum. (2) Bangunan atau tempat beribadat.

Karena itu, Katolik tidak akan menggelar misa di hotel atau restoran atau stadion (kecuali perayaan tahbisan atau kunjungan Uskup atau Paus, misalnya), tapi harus di gereja. Bangunan gereja pun ada syarat atau pakemnya. Posisi altar, tabernakel, sakristi, lonceng, dan sebagainya.

Nah, gereja-gereja baru versi New Born Christian ini berprinsip kebaktian atau ibadah bisa dilakukan di mana saja. Asal ada tempat, sound system, oke. Lebih nyaman lebih bagus. Sangat-sangat luwes denominasi yang berkembang pesat di Indonesia sejak 1980-an itu. Karena itu, setiap hari Minggu hampir semua aula, convention hall, atau ballroom hotel di Surabaya sudah di-booking untuk kebaktian gereja.

Gerejanya Pendeta Samuel Gunawan di Surabaya misalnya booking Grand City untuk kebaktian tujuh sesi, pagi sampai malam. Gramedia Expo juga dipakai gerejanya Pak Samuel lima atau enam kali. Bayangkan, kalau dia membuat gereja konvensional, Samuel mungkin harus membangun setidaknya 10 gereja baru. Nah, gereja-gereja macam ini sangat banyak, karena lagi ngetren, dan tidak masuk statistik kemenag. Hehehe...

Sebaliknya, Gereja Katolik tidak bisa bertumbuh secepat New Born Christian Chuches. Bahkan, bisa berkurang karena umatnya pindah ke kota-kota lain, pindah gereja (biasanya ke Lahir Baru), atau pindah agama (Islam, Buddha, Konfusius, dsb).

Ketika pulang ke kampung halaman di pelosok Flores Timur, NTT, jumlah gereja masih tetap 15 biji di kecamatan saya. Dalam 20 tahun hanya tambah SATU gereja, yakni di kampung kelahiran saya. Itu pun sebenarnya sejak saya SD dulu bangunan itu sudah ada dan berstatus KAPELA, semacam mushala di lingkungan Islam. Masjidnya pun masih tetap 9 buah di kecamatan saya.

Masjid di kampung saya juga tetap satu, namanya Masjid Nurul Jannah, dibangun bersama-sama masyarakat desa kami baik Katolik maupun Islam. Tidak perlu izin-izinan, minta tanda tangan restu warga, harus radius sekian kilometer dari rumah ibadat lain, dan sebagainya. Ketua panitia pembangunan masjid itu, saya masih ingat, Bapak Karolus Keluli, kepala desa saat itu yang beragama Katolik.

Memang agama di daerah saya itu hanya dua: Katolik dan Islam. Tidak ada Protestan, Pentakosta, Baptis, Advent, Saksi Yehuwa, Pentakosta, Karismatik, Kristen Lahir Baru, Mormon, Scientology, dan sebagainya dan sebagainya.

Sayang, saat pulang kampung setelah bertahun-tahun nyantol di Jawa Timur, saya melihat jemaat gereja dan masjid di kampung saya makin sepi. Padahal, misa atau ibadat sabda tanpa imam (karena romonya harus keliling ke 15 desa atau gereja) hanya dilakukan SATU kali saja. Mengapa?

Sebagian besar anak-anak muda yang lulus SD (kayak saya ini), pindah ke kota untuk melanjutkan sekolahnya atau merantau ke Malaysia Timur. Oh, ya, angka kelahiran pun menurun tajam. Sekarang ini makin sulit menemukan warga kampung-kampung pelosok kelahiran di atas tahun 1970 yang punya lebih dari dua atau tiga. Ini juga berkat keberhasilan program keluarga berencana yang gencar dikampanyekan pemerintah Orde Baru. Padahal, dulu orang di kampung saya paling sedikit punya empat anak.

Nah, berbeda dengan suasana kebaktian atau misa di Surabaya yang selalu ramai, digelar minimal 4 kali di sebuah gereja. Saya sendiri selalu tidak kebagian tempat di Katedral Surabaya, duduk di luar, karena umatnya penuh sesak.

Salam damai!

0 Response to "Gereja terlalu banyak di Jawa"

Posting Komentar