Orang semakin ramai bergunjing, ngerumpi, termasuk yang berpendidikan tinggi, termasuk doktor. Tradisi tulis yang belum matang tiba-tiba diganggu budaya televisi, kemudian internet. Maka jangan heran pembaca buku semakin sedikit, pembeli koran berkurang, tapi pembeli pulsa dan ponsel naik terus. Orang lebih memilih beli pulsa ketimbang korang yang Rp2000 atau 3000.
Dua bulan terakhir saya cukup intens mencermati beberapa blog keroyokan macam Kaskus atau Kompasiana. Awalnya saya kagum karena hit tulisan luar biasa banyaknya. Ada artikel yang diklik 500 kali dalam satu jam. Tulisan-tulisan Yusril Ihza Mahendra termasuk yang laris.
Sayang, setelah saya cermati, blog rame-rame ini lebih banyak dijadikan ajang ngerumpi. Semacam bergunjing ala BBM group. Di Kompasiana dan Kaskus pun ada grup ngerumpinya yang sangat heboh.
Misalkan seorang blogger menulis sebuah artikel. Tak lama kemudian muncul komentar yang lebih sering melenceng dari isi artikel. Komentarnya dibuat iseng, lucu, untuk memancing komentator lain. Si komentator awal kemudian komen lagi dan seterusnya.
Tak heran, komentar di Kompasiana bisa 100, 200, 500, 600 atau lebih. Semakin populer (dan lucu) penulisnya maka teman ngerumpinya makin banyak. Dan itu membuat ketagihan.
Blog pada awalnya pun jadi ajang ngerumpi. Tapi kemudian datang facebook yang lebih efektif dan cepat ketimbang blogspot, wordpress, dan sejenisnya.
Kemudian muncul twitter disusul BBM. Tradisi ngerumpi pun semakin booming di jagat maya internet. Maka blog tak bisa lagi jadi ajang rumpies selain tempat menulis catatan harian, artikel, foto dsb. Namun blog justru makin memperlihatkan keunggulannya sebagai ajang untuk belajar menikmati budaya tulis.
Kaskus dan Kompasiana rupanya berhasil memadukan budaya tulis dan ngerumpi.
0 Response to "Budaya ngerumpi di era internet"
Posting Komentar