Di usianya yang masih remaja, 15 tahun, Jessica Sudarta sudah terlihat matang dengan gaun panjangnya. Usai memberi hormat kepada penonton, Jessica duduk dan dengan lincah memainkan jari-jemarinya pada dawai harpa yang menghasilkan nada-nada indah dan lembut.
Yah, Jessica Sudarta merupakan salah satu dari sedikit pemain harpa di tanah air. Siswi SMA Kristen Petra 1 Surabaya ini, Senin (22/7/2013), menampilkan kebolehannya di hadapan sekitar 60 peserta Pertemuan Musik Surabaya di Wisma Melodia, Jalan Ngagel Jaya 12-14, Surabaya, yang dipandu guru piano dan komponis senior asli Surabaya, Slamet Abdul Sjukur. Jessica tak sekadar bermain harpa, tapi juga menjelaskan seluk-beluk alat musik berbentuk busur ini kepada penonton.
Berikut petikan percakapan LAMBERTUS HUREK dengan Jessica Sudarta usai pertemuan musik bulanan itu.
Sejak kapan Anda belajar musik klasik?
Sejak masih taman kanak-kanak. Waktu umur empat tahun saya sudah ikut les piano. Jadi, sudah belasan tahun saya menekuni musik klasik.
Setelah belajar piano, Anda beralih ke harpa?
Sampai sekarang saya masih tetap main piano di samping main harpa. Tapi sejak usia 11 tahun saya mulai fokus ke harpa. Piano dan harpa itu punya karakter yang berbeda. Masing-masing punya kelebihan masing-masing. Karena itu, saya sangat suka kedua alat musik itu.
Di Surabaya, bahkan Indonesia, tidak banyak orang yang menekuni harpa. Kenapa Anda memilih menekuni harpa?
Nah, karena jarang yang main, makanya saya suka. Setelah saya cukup lama belajar piano, saya kemudian ditanya oleh guru musik saya, mengapa kamu tidak mencoba instrumen yang lain. Sebab, piano itu menjadi dasar bagi kita untuk menekuni alat musik mana pun juga. Kalau sudah lancar main piano, kita akan lebih mudah menguasai instrumen yang lain. Saya melihat di Surabaya ini tidak ada anak-anak atau remaja yang menekuni harpa. Padahal, harpa itu menurut saya merupakan alat musik yang bentuknya sangat cantik. Inilah yang mendorong saya untuk mempelajarinya.
Ada kesulitan belajar harpa?
Jelas ada, dan cukup serius.
Apa itu?
Di Surabaya tidak ada guru harpa. Adanya hanya di Jakarta. Sementara saya kan sekolah di Surabaya. Jadi, mau tidak mau, saya harus bolak-balik Surabaya-Jakarta untuk belajar harpa. Guru saya adalah Rama Widi, salah satu harpis terbaik yang dimiliki Indonesia saat ini. Saya bersyukur menjadi murid pertama Mas Rama. Nah, kesulitan lain, guru saya ini sering tidak ada di tempat karena berkeliling berbagai negara untuk konser dan sebagainya.
Lantas, apa solusinya?
Saya manfaatkan teknologi internet. Saya sering berkomunikasi dengan Mas Rama lewat Skype. Beliau memberikan masukan dan bimbingan kepada saya tentang teknik bermain harpa yang benar. Saya memainkan harpa, kemudian beliau memberikan koreksi dan arahan. Sistem belajar jarak jauh ini sampai sekarang masih saya lakukan. Dan saya akan terus belajar karena saya memang tidak pernah puas dengan apa yang saya capai saat ini. Saya ingin lebih maju dan maju lagi.
Bagaimana dengan dukungan dari orang tua Anda?
Luar biasa. Sejak saya masih empat tahun kedua orang tua saya memberi kesempatan kepada saya untuk belajar piano, disusul harpa. Mereka mau membelikan harpa yang harganya tidak murah. Kemudian mendampingi saya bolak-balik ke Jakarta untuk kursus musik, konser, dan sebagainya. Pengorbanan papa dan mama memang luar biasa agar saya bisa berkembang di musik.
Anda pernah bikin konser atau resital harpa?
Pernah. Bulan Januari lalu saya tampil di Grand City, Surabaya, diiringi orkestra lengkap. Mas Rama Widi juga tampil dalam konser itu. Senang banget rasanya bisa tampil satu panggung dengan guru saya. Sebelum ini tidak pernah ada resital khusus harpa di Kota Surabaya. Ini yang membuat saya bangga dan ingin terus maju. Saya juga sering bermain di beberapa kota lain di tanah air.
Bagaimana respons publik selama ini terhadap pilihan Anda menekuni harpa?
Puji Tuhan, sangat bagus. Mungkin karena harpa ini instrumen yang belum populer di tanah air, maka setiap kali saya konser, banyak yang bertanya tentang seluk-beluk harpa. Mulai dari cara menyetem, nada-nadanya apa saja, teknik permainan, fungsi jari kiri dan kanan, pedal, dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan itu justru menjadi kesempatan bagi saya untuk menyosialisasikan harpa kepada masyarakat. Itu juga yang mendorong Pak Slamet Abdul Sjukur untuk meminta saya tampil di Pertemuan Musik Surabaya yang beliau asuh.
Apa perbedaan utama harpa dan piano, selain bentuknya?
Piano itu dimainkan dengan menggunakan 10 jari tangan, sedangkan harpa hanya menggunakan delapan jari. Jari kelima (kelingking) tidak digunakan karena lemah. Piano punya tiga pedal, sedangkan harpa pedalnya delapan (tiga di kiri, empat di kanan, satu di antara keduanya). Pedal tengah itu untuk menghasilkan nada yang kuat. Sedangkan dua pedal lain untuk menghasilkan tujuh nada diatonik. Kalau sistem penulisan notasinya hampir sama.
Ngomong-ngomong, kesibukan di musik apakah tidak mengganggu sekolah Anda?
Hehehe.... Sejauh ini sih gak mengganggu. Buktinya, nilai-nilai pelajaran saya juga gak jelek. Saya berusaha agar musik dan pelajaran bisa berjalan seiring. Apalagi, saya selalu didampingi kedua orang tua dalam berbagai aktivitas saya di luar sekolah. (*)
Jessica bersama Gema, komponis Surabaya. |
Lagu Daerah untuk Hibur Penonton
Bagi Jessica Sudarta, musik harus bisa diapresiasi dan dinimati oleh sebanyak mungkin pendengar. Karena itu, gadis manis ini tak segan-segan menyisipkan lagu-lagu pop atau daerah dalam resitalnya. Ketika tampil bersama gurunya, Rama Widia, di Surabaya pada 18 Januari 2013, Jessica memainkan lagu Bengawan Solo dan Yamko Rambe Yamko.
Sajian lagu-lagu daerah itu tak ayal mengundang aplaus meriah. Begitu pula ketika tampil dalam Pertemuan Musik Surabaya di Wisma Musik Melodia, Jalan Ngagel Jaya 12 Surabaya, Senin (22/7) lalu. Sulung dari tiga bersaudara ini membuat kejutan dengan memainkan dua lagu khas daerah Surabaya di akhir konsernya.
"Dua lagu berikut ini pasti disenangi oleh semua warga Surabaya," katanya.
Lalu, mengalunlah komposisi Rek Ayo Rek dan Tanjung Perak Tepi Laut. Suasana konser tiga sesi yang tadinya menampilkan nomor-nomor klasik karya komponis ternama seperti JS Bach, Jan Ladislav Dussek, FJ Naderman, dan Le Rouet pun tiba-tiba mencair.
Menurut Jessica, alat musik harpa ini sebenarnya tidak 'seserem' anggapan banyak orang selama ini. Seakan-akan harpa hanya dipakai untuk memainkan komposisi klasik Barat yang berat-berat. Hanya saja, dia mengakui bahwa sampai saat ini belum banyak komponis Indonesia yang membuat komposisi khusus untuk harpa.
Karena itulah, Gema Swaratyagita, komponis muda lulusan Universitas Negeri Surabaya, sengaja menulis komposisi berjudul Si Uring untuk dimainkan Jessica Sudarta. Sesuai judulnya, sang pemusik terlihat uring-uringan, sering mengomel, bahkan hendak membanting alat musik yang harganya bisa mencapai ratusan juta rupiah itu.
"Saya sengaja membuat komposisi yang berbeda dengan karakter harpa dan Jessica," kata Gema. (rek)
CV SINGKAT
Nama : Jessica Sudarta
Lahir : Surabaya, 24 Januari 1998
Orang tua : Jefri Sudarta dan Yenny Feliana
Adik : Jesslyn Sudarta dan Jasson Sudarta
Hobi : Main musik dan menyanyi
Pendidikan : SMA Kristen 1 Surabaya
Instrumen : Harpa, piano, vokal
Guru piano : Adi Nugroho
Guru harpa : Rama Widia
Beberapa Konser/Resital :
- Around The World bersama Pieternel Berkers (accordion) asal Belanda, Kanako
Inoue (Piano) asal Jepang, Bernadeta Astari (soprano, Jakarta) di Gedung Cak Durasim, Surabaya, 28 April 2013.
- An Enchanting Harp Sound bersama Rama Widia di Grand City, Surabaya, 18
Januari 2013.
- Dancing Fingers bersama Rama Widia, IFI Bandung, 8 September 2012.
- Charity Concert di Salatiga, 15 Juni 2013.
- Pertemuan Musik Surabaya, Wisma Melodia, Jl Ngagel Jaya 12-14 Surabaya, 22 Juli 2012.
0 Response to "Jessica Sudarta harpis muda Surabaya"
Posting Komentar