TIONGHOA LAMAHOLOT: Bupati Yance Sunur bersama istri (dr Margie Kandou) dan putrinya. |
Sebagai putra asli Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, saya tak melewatkan begitu saja berita-berita yang saya anggap menarik dari NTT. Dalam sebuah liputan di internet, kemudian televisi, pekan lalu (14/7/2013), Kepala Dinas Kementerian Agama Kabupaten Lembata, Dorothia Nahak, membeberkan data penduduk berdasar agama.
Seperti sering saya jelaskan sejak dulu, agama di Flores Timur (dulu Lembata ikut Kabupaten Flores Timur) sebetulnya hanya ada TIGA. Yakni Katolik yang mayoritas, Islam, dan agama asli atau bisa disebut agama leluhur orang Lamaholot yang menyembah LERA WULAN TANA EKAN (Sang Pencipta Alam Semesta). Agama leluhur ini makin tergusur, dan akan habis, setelah masuknya agama Islam dan Katolik.
Agama Kristen Protestan (Pentakosta, Baptis, Advent, Karismatik, dsb) dulu tidak ada di Flores Timur. Tapi masuknya pegawai negeri, anggota TNI/Polri, pedagang, dan sebagainya dari luar Flores ke Lembata ikut membawa agama Kristen Protestan. Saat ini pemeluk Kristen sudah mencapai 1.920. Begitu juga kedatangan orang Bali yang membawa agama Hindu. Di Lembata terdapat 73 jiwa yang beragama Hindu.
Yang paling menarik buat saya adalah agama Buddha. Data Kementerian Agama menyebut penganut Buddha di Lembata hanya TIGA orang. Saya menduga tiga orang ini warga keturunan Tionghoa yang baru datang dari luar NTT.
Menarik, karena sejak zaman dulu banyak warga keturunan Tionghoa yang sudah membaur dan berakar di Lembata. Bahkan, saat ini bupati Lembata pun orang Tionghoa bernama Baba Yance Sunur. Anggota DPRD Lembata yang Tionghoa pun ada beberapa. Hubungan antara Tionghoa dengan Lamaholot (suku asli kayak saya ini) sangat cair.
Orang Tionghoa di mana pun biasanya sangat kokoh memelihara tradisi dan budaya leluhurnya. Meja-meja altar, foto-foto leluhur, biasanya ada di rumah. Tradisi Taoisme, Konfusianiasme, kemudian dibalut Buddhisme tidak bisa dipisahkan dari warga Tionghoa. Sama dengan orang Katolik di Flores Timur yang tak bisa dipisahkan dari tradisi Lamaholot dengan rujukan pada LERA (matahari) WULAN (bulan) TANA (bumi) EKAN (lingkungan) pada era pra-Katolik dan pra-Islam itu.
Lantas, mengapa tidak ada umat Buddha di Lembata, yang asumsinya pasti keturunan Tionghoa? Fakta ini menunjukkan bahwa orang Tionghoa di Lembata dan Flores Timur memang sudah melebur dengan bumiputra. Sama-sama menganut agama Katolik. Bahkan, saya lihat sering pula menghadiri ritual adat khas Lamaholot pesta kacang alias pesta panen di kampung lama.
Orang Tionghoa di Flores pun bicara dalam bahasa daerah atau Melayu Larantuka, sejenis bahasa Indonesia versi lokal di Flores Timur dan Lembata. Bahkan, logat orang Tionghoa di Lembata dan Larantuka ini biasanya lebih tajam daripada orang-orang kampung. Pembauran Tionghoa-Lamaholot yang luar biasa karena terjadi kawin-mawin sejak beberapa generasi.
Baba Yance, bupati sekarang pun, punya keturunan asli Lamaholot. Oh ya, semua laki-laki Tionghoa di Flores Timur disapa BABA dan wanitanya dipanggil NONA. Bahkan, wanita Tionghoa yang sudah tua pun tetap dipanggil NONA. Mungkin karena istilah NYONYA belum dikenal orang-orang di sana tempo doeloe yang penguasaan bahasa Melayu pasarnya memang masih terbatas.
Itu sebabnya, sejak dulu tidak ada kelenteng atau vihara atau kuil atau pagoda, atau tempat sembahyang agama Tionghoa, di Lembata. Saya lihat orang-orang Tionghoa malah jauh lebih aktif di Gereja Katolik, jadi pengurus ini-itu, rajin berdoa, kalau di gereja berdoanya lebih lama ketimbang orang-orang pribumi Lamaholot seperti saya. Bahkan, sering lebih lama daripada pastor, bruder, frater, atau suster.
Yah, pantas saja kalau hari ini, 2013, orang Tionghoa yang beragama Buddha (termasuk Khonghucu) di Kabupaten Lembata hanya tiga orang.
0 Response to "Tionghoa Flores Timur Membaur Total"
Posting Komentar