Pemerintah Kota Gorontalo, seperti dikutip ANTARA, mewajibkan seluruh restoran, warung makan, depot, dan warung makan kaki lima tutup siang hari selama bulan Ramadan. Wali Kota Gorontalo Weny Liputo mengatakan kebijakan tersebut diambil untuk menghomati umat muslim yang sedang menjalankan ibadah puasa.
Syukurlah, di Surabaya dan kota-kota lain di Jawa Timur tak ada aturan macam itu. Warung, depot, restoran, tak dilarang buka siang hari. Tapi tentu saja harus menghormati saudara-saudari kita yang berpuasa. Pun tidak ada aturan untuk memasang tirai di warung atau restoran. Semuanya terserah si pemilik warung.
Kalau memang tidak ada pembeli, karena semuanya berpuasa, ya pasti tutup sendiri. Tidak perlu pakai instruksi pejabat macam di Gorontalo. Juga tidak perlu pakai razia dari Satpol PP segala. Orang yang tidak berpuasa, entah karena bukan muslim atau musafir, memang tidak dilarang makan minum. Makanya, sangat aneh kalau ada petugas Satpol PP atau polisi yang merazia orang-orang yang makan di warung.
Kalau razia minuman keras atau barangkali narkoba yang dijual sembunyi-sembunyi di warung atau depot sih silakan saja. Karena memang melanggar undang-undang di negara ini. Tapi merazia orang makan di warung, seperti foto di Jakarta Post edisi 11 Juli 2013, benar-benar aneh. Polisi lebih baik menangkap bandar narkoba, tukang pungli, atau penjahat-penjahat lain yang meresahkan masyarakat.
Syukurlah, masyarakat dan pemerintah daerah di Jawa Timur makin lama makin dewasa. Teman-teman saya yang santri pasti ketawa-ketawa membaca aturan Pemkot Gorontalo yang melarang restoran dan semua warung makan buka siang hari selama Ramadan. Dulu, sebelum 1990-an memang ada semacam ketentuan seperti itu.
"Tapi kalau orang memang niat puasa, dikasih makan enak gratis pun pasti tidak akan mau. Tunggu dulu sampai saatnya berbuka," kata Husen.
Menurut teman saya ini, umat Islam yang berpuasa sejak awal menanamkan niat yang sangat kuat untuk berpuasa, tak makan minum, dan melakukan hal-hal yang dilarang. Maka, apalah artinya makanan minuman yang dijual di warung itu. "Silakan Anda makan minum seperti biasa. Anda kan tidak puasa," kata Husen.
Syukurlah, Surabaya bukan Gorontalo atau Aceh. Beberapa depot langganan saya buka seperti biasa meskipun pembelinya turun 80 persen. Kok tidak tutup? "Gak apa-apa dapat sedikit ketimbang gak dapat sama sekali," kata si pemilik depot masakan Jawa Timur itu.
Saya sangat setuju dengan kebijakan Pemkot Surabaya yang hanya menutup tempat-tempat hiburan yang masuk kategori maksiat. Lokalisasi memang wajib tutup total. Bahkan, Bu Risma, wali kota Surabaya, sudah mematok target tahun 2014 tidak ada lagi kompleks pelacuran di Kota Surabaya. Begitu pula tempat-tempat prostitusi terselubung.
Yang masih janggal di Surabaya, menurut saya, adalah larangan menutup tempat karaoke keluarga selama satu bulan penuh. Bernyanyi bersama keluarga atau teman-teman kok tidak boleh? Mengapa rakyat biasa menyanyi di rumah karaoke dilarang? Kok artis-artis boleh menyanyi di televisi? Hehehe....
Syukurlah, saya sudah lama kehilangan minat ke karaoke. Saya cuma kehilangan hiburan tradisional wayang kulit selama bulan puasa. Begitu juga ludruk dan ketoprak yang tidak mungkin main selama bulan puasa, bahkan setelah Ramadan. Hampir dua bulan tak akan ada pertunjukan wayang kulit.
Repotnya, dari dulu saya tidak suka aneka hiburan sepanjang bulan Ramadan di televisi. Termasuk sinetron-sinetron religi yang katanya bagus-bagus itu.
0 Response to "Dilarang menyanyi selama bulan Ramadan"
Posting Komentar