Di Gereja Katolik di Jawa Timur, saya lihat yang konsisten merawat bahasa Jawa dalam liturgi, termasuk kitab suci bahasa Jawa, hanya gereja-gereja di kota kecil atau pedesaan macam di kawasan Puhsarang, Kediri. Di sana ada gereja tua yang sangat unik yang jadi jujugan umat Keuskupan Surabaya karena ada Gua Maria Lourdes yang megah itu.
Setiap hari umat Katolik di Puhsarang mengikuti misa dalam bahasa Jawa. Juga membaca kitab suci bahasa Jawa. Kita yang berada di Surabaya biasanya sebulan sekali ramai-ramai ke Puhsarang mengikuti Misa Malam Jumat Legi. Pakai bahasa Jawa, karawitan, semua serba bahasa Jawa yang sangat asyik. Saya yang asli Flores Timur pun terkagum-kagum dengan inkulturasi Katolik dengan tradisi Jawa yang sangat luar biasa.
Di luar Jawa, bahkan di Flores atau NTT, malah tidak pernah ada misa dalam bahasa daerah. Anehnya lagi, pastor-pastor pun saya lihat enggan berkhotbah dalam bahasa daerah saat memimpin misa di desa-desa. Padahal, romo itu asli Lamaholot yang pasti bisa berbahasa daerah yang disebut bahasa Lamaholot itu. Ironis, karena dulu pastor-pastor misionaris asal Belanda, Jerman, Polandia, dan sebagainya malah berkhotbah dalam bahasa Lamaholot.
Nah, karena sering mengikuti misa berbahasa Jawa di Puhsarang, kemudian di Sendangsono, Kulonprogo, Jogjakarta, saya pun mulai mencari Alkitab bahasa Jawa. Ternyata tidak ada di Surabaya. Syukurlah, suatu ketika saya menemukan Alkitab bahasa Jawa justru di lapak buku-buku bekas di Jalan Semarang, Surabaya.
Matur nuwun, Gusti! Rupanya selalu ada jalan dari Gusti Allah kalau kita punya keinginan yang sangat kuat. Tiba-tiba saja Lia, penjaga toko buku bekas langganan saya, menawarkan kitab suci bahasa Jawa itu. "Mas, kayaknya kamu cocok deh sama buku itu," kata gadis asal Madura yang berjilbab itu. Lia memang sangat hafal karakter pelanggannya, buku macam apa yang dicari.
Ternyata kitab suci terbitan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) ini melebihi harapan saya. Sebab, ini KITAB SUCI MAWI BASA JAWA PADINTENAN atau Alkitab dalam bahasa Jawa sehari-hari. Oh, saya baru sadar bahwa kitab suci terjemahan resmi LAI dalam bahasa Jawa itu ada dua versi. Versi bahasa Jawa sehari-hari ini kira-kira sama dengan Alkitab Kabar Baik, yang memang lebih sederhana kata-katanya ketimbang versi Terjemahan Baru bahasa Indonesia, 1974 yang digunakan di hampir semua gereja di Indonesia saat ini.
Semangat membaca kitab suci saya yang sempat pada pun muncul lagi setelah memiliki Alkitab Jawa yang harganya cuma Rp 20.000 itu. (Aslinya Rp 15.000, yang lima ribu sekadar tips buat Lia!) Ibarat anak-anak atau katekumen yang baru mengenal kitab sucinya orang Kristen. Saya bolak-balik mulai PURWANING DUMADI (Kejadian), PANGENTASAN (Keluaran), KAIMAMAN (Imamat), hingga WAHYU.
Suasana yang saya tangkap sangat berbeda dibandingkan saat membaca Alkitab bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Cerita-cerita, petuah, percakapan... serasa dekat sekali dengan kondisi masyarakat di tanah Jawa. Seakan-akan Gusti Yesus itu orang Jawa yang bicara dalam bahasa dan budaya Jawa.
Ambil contoh petikan Injil Lukas 10:38-42 yang dibahas di semua Gereja Katolik di seluruh dunia, Minggu 21 Juli 2013, tentang Yesus mengunjungi Marta dan Maria.
Gusti Yesus ngandika: "Marta, Marta! Kowe kuwi repot mikirake barang sepirang-pirang. Mangka sing prelu kuwi mung siji! Dene Maryam iki wis milih prekara sing becik dhewe, sing ora bakal kapundhut saka dheweke!"
Gusti Yesus memang bicara dalam bahasa ngaka (ngoko). Sebaliknya, Marta yang bersungut-sungut karena bekerja di dapur sendiri, tidak dibantu Maria, mengadu kepada Yesus begini:
"Guru, cobi Panjenengan penggalih! Sedherek kula menika mboten preduli kula nyambutdamel piyambakan. Mbok inggiha Panjenengan dhawuhi supados ngrencangi kula!"
Meskipun disebut bahasa Jawa sehari-hari, bagi orang yang tinggal di Surabaya, kata-kata krama inggil (Jawa halus) tidak akan mudah dipahami. Kecuali orang-orang yang terbiasa ber-BOSO ketika berbicara dengan orang tua dan orang-orang yang terpandang.
Namun, bagusnya, orang-orang yang terbiasa membaca Alkitab standar bahasa Indonesia, macam saya, sebetulnya sudah tahu apa yang dikatakan Marta itu. Jadi, kita tidak perlu lagi bertanya kepada orang-orang Jawa lawas arti kata-kata krama inggil itu. Cukup merujuk ke Alkitab bahasa Indonesia beres!
Membaca Alkitab Jawa kita pun semakin memahami unggah-ungguh atau sopan-santun dalam tradisi Jawa. Bahwa berbicara dengan orang tua, orang yang dihormati, harus pakai krama inggil. Sebaliknya, Gubernur Pilatus, Raja Herodes, atau Nabi Musa, misalnya, berbicara dalam bahasa ngaka.
Sebagai warga Surabaya/Sidoarjo, saya kadang geli sendiri karena orang kedua selalu disebut KOWE, kata yang tak pernah dipakai di Surabaya. Begitu juga struktur bahasa Jawa yang disebut bahasa sehari-hari itu pun ternyata berbeda dengan bahasa Jawa yang dipakai di Surabaya.
Dari sini saya semakin paham pernyataan Pak Aming, peneliti di Balai Bahasa Surabaya, bahwa bahasa Suroboyoan itu tidak bisa disebut bahasa Jawa meskipun substansinya sama-sama bahasa Jawa.
"Makanya, program Java Day di Surabaya dari dulu tidak pernah berhasil. Wong anak-anak Surabaya itu memang tidak pernah berbahasa Jawa, tapi berbahasa Suroboyoan," kata Pak Aming.
Java Day adalah hari wajib berbahasa Jawa setiap Jumat di sekolah-sekolah yang ditetapkan Dinas Pendidikan Jawa Timur. Kebijakan ini bukan hanya tidak jalan, tapi malah menjadi bahan guyonan di Surabaya.
Sebagai penutup ada nasihat dari kitab WULANG BEBASAN alias Amsal 11:29 yang layak kita simak:
Wong bodho kuwi dadi bature wong pinter!
Ah, saya sudah ratusan kali saya membaca ayat ini dalam bahasa Indonesia. Tapi rasanya tidak setegas dan setajam dalam versi Jawa Padintenan ini. Saya jadi makin paham mengapa puluhan juta orang Indonesia ramai-ramai merantau untuk menjadi BATUR (pembantu rumah tangga) di Taiwan, Hongkong, Malaysia, Singapura, Arab Saudi, dan negara-negara lain.
0 Response to "Belajar Membaca Alkitab Bahasa Jawa"
Posting Komentar