Sebagian besar generasi muda Tionghoa di Surabaya ternyata kurang mengenal tradisi dan budaya leluhurnya. Itulah yang mendorong pengurus CHHS (Chong Hua High School) dan Komunitas Jejak Petjinan mengadakan napak tilas budaya Tionghoa, Minggu (17/11/2013). Acara bertajuk Pelesir Petjinan ini diikuti sekitar 120 siswa kursus bahasa Mandarin CHHS mulai anak-anak hingga dewasa.
Dari markas CHHS di Jalan Undaan Kulon 1, rombongan diantar dengan bus menuju perusahaan jasa kematian Ario di Jalan Dinoyo 94-96. Ario Karjanto, bos Ario, bersama putri dan menantunya, Yohana dan Richard Wu, pun menyambut dengan ramah. Peserta kemudian berdialog seputar sejarah hingga perkembangan bisnis jasa kematian yang tergolong langka di tanah air.
Ario menjelaskan, perusahaan yang berdiri sejak zaman Belanda ini justru dimaksudkan untuk membantu keluarga-keluarga yang sedang berdukacita. Pihaknya menyiapkan peti jenazah, siupan, perawatan jenazah, hingga pengantaran jenazah ke makam.
Mengutip pesan ayahnya, Ario mengatakan, pihaknya tak hanya sekadar berbisnis, mencari keuntungan, tapi juga beramal untuk sesama. "Kalau amal saja tanpa keuntungan, bisnis tidak akan jalan. Perusahaan pasti bangkrut.
Tapi, sebaliknya, kalau bisnis thok tanpa amal, kita akan terkena kanker hati," ujar Ario disambut tawa siswa CHHS dan para laoshi pendamping.
Karena misi sosial itulah, menurut Ario, setiap tahun pihaknya menyediakan 1.500 peti jenazah secara gratis kepada keluarga tidak mampu. Rombongan kemudian diajak melihat-lihat berbagai koleksi peti jenazah di gudang bagian belakang. Ratusan peti dari berbagai kelas berjejalan di gudang. Ada peti yang harganya mencapai Rp 800 juta.
Dari Ario Dinoyo, rombongan Pelesir Petjinan meninjau rumah sembahyang keluarga Han di Jalan Karet 72. Ini merupakan salah satu dari tiga rumah sembahyang keluarga konglomerat Tionghoa pada masa Hindia Belanda, selain keluarga The dan Tjoa.
"Saya sendiri termasuk generasi kesembilan keluarga Han di Indonesia. Selama ini orang menyebut sebagai rumah abu. Padahal, tidak ada abu leluhur di rumah ini," ujar Robert Han, sang tuan rumah.
Robert Han bersama istri, Ling Mei, dan anak-anaknya rajin merawat rumah sembahyang yang sudah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya di kawasan pecinan itu. Para pengunjung terkesan dengan keantikan bangunan yang memadukan seni arsitektur Tionghoa, Jawa, dan Eropa. Pilar-pilar baja, misalnya, didatangkan langsung dari Glasgow, Inggris. Belum lagi kaligrafi Tiongkok dengan syair tempo doeloe yang bernilai sastra tinggi.
Destinasi lain yang didatangi rombongan CHHS adalah Kelenteng Boen Bio di Jalan Kapasan 131. Tempat sembahyang umat Konghucu ini juga dinilai menyimpan jejak sejarah dan tradisi leluhur Tionghoa di Surabaya. Bahkan, pada masa revolusi, kelenteng ini juga sempat dijadikan tempat penampungan pengungsi.
Yang menarik, rombongan CHHS juga menyempatkan diri ziarah ke makam Sunan Ampel. Didampingi pemandu wisata, warga keturunan Arab di Ampel, mereka mendapat penjelasan tentang sosok Sunan Ampel sebagai salah satu dari sembilan wali penyebar agama Islam di tanah Jawa.
"Kabarnya ada wali yang keturunan Tionghoa. Makanya, kami merasa perlu untuk berziarah ke makam Sunan Ampel," kata Paulina Mayasari, koordinator Pelesir Petjinan.
Paulina menjelaskan, acara Pelesir Petjinan ini sangat perlu untuk memberikan wawasan kepada generasi muda Tionghoa yang sempat kehilangan jejak budayanya selama satu generasi. Warga Tionghoa yang lahir pada masa Orde Baru praktis tidak lagi menghayati tradisi dan budaya leluhurnya. "Saya sendiri malah sama sekali tidak bisa berbahasa Tionghoa," katanya.
Karena itu, Paulina sangat antusias melihat begitu banyak anak muda, tak hanya Tionghoa, yang belajar bahasa Mandarin di CHHS Surabaya. SMA Tionghoa papan atas yang didirikan pada 1948 ini pun ditutup pada 1966. Para alumni CHHS kemudian berusaha menghidupkan kembali dengan membuka kursus bahasa Mandarin serta mengadakan berbagai kegiatan sosial budaya.
0 Response to "CHHS Pelesir Petjinan Surabaya"
Posting Komentar