Ladang di kawasan Lembata, NTT. |
Wali Kota Depok Nur Mahmudi Ismail punya program ODNR: One Day No Rice. Program yang bagus untuk diversifikasi pangan. Tapi mengapa Pak Nur tidak pakai bahasa Indonesia saja. Mungkin sebagian besar warga Depok yang dekat Jakarta itu lebih fasih English.
Pak Nur, bahasa Indonesianya: sehari tanpa nasi! Penduduk di pelosok akan lebih paham jargon Anda ketimbang yang Inggris itu. Sebagai bekas menteri pertanian, doktor IPB, Pak Nur tentu betul politik beras di Indonesia yang gencar sejak zaman Pak Harto. Beras menjadi makanan pokok istimewa, yang dianggap lebih bergengsi ketimbang jagung, sorgum, sagu, singkong, dan ubi-ubian lain.
Saya kira ODNR di Depok atau Jawa Barat, Banten, Jakarta tidak begitu mendesak. Bogor kota hujan, subur, tumbuh segala macam tanaman pangan. Sawah-sawah bagus di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jogjakarta, Jawa Timur.
Lha, orang surplus beras kok disuruh makan singkong? Tidak perlulah. Manusia harus mengkonsumsi makanan-makanan yang dihasilkan bumi tempat tinggalnya. Itulah pesan Prof Hiromi Shinya dalam buku enzimnya yang terkenal itu.
Saya bayangkan orang Bogor akan kesulitan menemukan sagu, jagung, atau sorgum di pasar. Beras mulai kelas raskin sampai super tersedia. Kok wali kotanya yang ahli pangan memaksa warganya tidak makan nasi?
Yang jadi masalah sangat besar adalah di NTT: Nusa Tenggara Timur alias Nusa Tetap Tertinggal alias Nasib Tidak Tentu tapi Nanti Tuhan Tolong. Provinsi kampung halaman saya ini bukan penghasil beras. Lahan basah untuk sawah sangat sedikit. Menanam padi gogo di ladang juga susah.
Kabupaten Flores Timur, Lembata, Alor, Rote Ndao, Sabu Raijua, misalnya, hampir tidak ada yang namanya sawah. Sebagian besar warga di kabupaten saya, Lembata, bahkan seumur hidup tak pernah lihat sawah dan tanaman padi. Paling hanya lihat di televisi.
"Saya baru lihat sawah ketika merantau di Malaysia Timur," kata teman saya yang sudah karatan di Sabah. Dia bahkan lebih merasa sebagai orang Malaysia ketimbang Indonesia karena makan, minum, dapat ringgit di negeri tetangga itu.
Karena itu, sebelum 1990 penduduk NTT yang makan padi (beras) sebagai makanan pokok kurang dari 15 persen. Tapi politik beras yang sistematis membuat warga perlahan-lahan beralih ke beras. Apalagi ada anggapan bahwa makan jagung membuat otak jadi tumpul.
"Kita di NTT ini bodoh karena makan jagung. Orang Jawa itu pintar (termasuk pintar mengakali) karena makannya beras," begitu ungkapan populer yang dulu sering saya dengar.
Warga NTT di pelosok kemudian mencontohkan anak-anak PNS yang dianggap lebih pintar dan bisa diterima di sekolah yang bagus. PNS di NTT selalu dapat jatah beras. Meskipun beras kualitas paling buruk, hasil cuci gudang di Jawa.
Satu-satunya pejabat NTT yang paling konsisten mempromosikan jagung adalah Gubernur Ben Mboi. Bersama istrinya, Nafsiah, yang sekarang menteri kesehatan, keliling ke 12 kabupaten (sekarang dipecah jadi 22 kabupaten) untuk promosi jagung. Bahwa jagung itu makanan pokok yang baik. Tidak kalah dengan beras.
Ben Mboi gencar dengan program Operasi Nusa Makmur alias ONM. Yang jadi andalannya adalah jagung arjuna. Varietas jagung berusia pendek yang tahan kering. ONM ini sukses sehingga NTT terbebas dari penyakit tahunan: kelaparan alias rawan pangan.
Gubernur Ben Mboi juga sempat menelurkan kebijakan mengganti beras jatah PNS dengan jagung. Tapi kebijakan ini diprotes keras sehingga tidak jalan. Inilah satu-satunya kegagalan Ben Moi dan Nafsiah Mboi di NTT.
Sayang, setelah 10 tahun memimpin NTT, komitmen pejabat-pejabat NTT terhadap jagung merosot. Maka budaya makan jagung pun merosot. Belum ada angka pasti, tapi saya perkirakan kini tinggal 60 persen atau bahkan kurang dari 50 persen penduduk NTT yang makan jagung.
Padahal, kemampuan untuk produksi padi di NTT tetap tidak meningkat. Wong iklim, jenis tanah, curah hujannya sama saja. Lebih parah lagi ada penggelontoran raskin atau beras miskin Rp 1000 per kg. Bahkan gratis kalau warga memang benar-benar tak punya uang sama sekali untuk beli raskin.
Gara-gara raskin itulah, warga NTT di kawasan paling kering yang tanpa sawah seperti Flores Timur, Adonara, Solor, Lembata, Alor, Pantar, Sabu, Raijua, Semau, dan sebagainya ketagihan beras. Makanan khas PNS yang bergengsi, yang dianggap bisa membuat kita jadi pintar seperti orang Jawa. Bukan pinter ngapusi alias pinter berbohong. Hehehe....
Setiap kali berlibur ke kampung halaman, saya selalu minta makan jagung. Tapi tidak pernah mendapatkannya. Ingin nostalgia masa kecil ketika beras langka dan mahal pun tak kesampaian. Bahkan keluarga yang tinggal di gubuk pun makan beras... raskin.
Lebih sedih lagi ketika melihat di kampung saya dan kampung tetangga tak ada lagi selep atau mesin giling jagung baik manual maupun listrik. Mesin giling di rumah saya pun sudah tak ada. Karena memang tak ada lagi yang pakai. Lebih asyik menunggu truk yang membawa beras raskin masuk kampung.
Kesimpulan: Program diversifikasi pangan nonberas ini WAJIB digalakkan lagi di NTT. Bukan sehari tanpa beras, tapi sebaiknya setiap hari tanpa beras. Sesekali bolehlah makan raskin untuk variasi. Tapi kalau ketagihan beras dan meninggalkan jagung, singkong, sorgum, jewawut, ubi-ubian... celakalah orang NTT.
Gebrakan mantan Gubernur Ben Mboi harus dilanjutkan pejabat-pejabat baru. Dan sebaiknya bantuan pangan untuk masyarakat miskin tidak lagi berupa beras, tapi jagung dan pangan nonberas.
Di sisi lain, program ODNR di Depok ada positifnya juga. Paling tidak orang NTT di pelosok bisa mengubah persepsinya terhadap jagung. Oh, orang Jakarta yang pintar-pintar itu ternyata mau juga makan jagung.
Sent from my BlackBerry® via Smartfren EVDO Network
0 Response to "Orang NTT Ketagihan Beras Miskin"
Posting Komentar