Lily Yoshica GM Indonesia Tionghoa Culture Centre

blogger templates
Lily Yoshica bersama Menteri BUMN Dahlan Iskan.


Lily Yoshica baru saja pulang dari Jombang. Kali ini, general manager (GM) Indonesia Tionghoa Culture Centre (ITCC) Surabaya ini diminta mengembangkan bahasa Mandarin dan membantu memfasilitasi pengiriman mahasiswa S-2 STIE PGRI Dewantara, Jombang.

Kesibukan seperti ini sudah dilakoni Lily Yoshica selama lebih dari satu dasawarsa. Bersama teman-temannya di ITCC, Lily kerap blusukan ke berbagai sekolah, kampus, dan pesantren untuk mengembangkan bahasa nasional Tiongkok itu. Ibu tiga anak ini ingin anak-anak muda Indonesia bisa menimba ilmu pengetahuan dan teknologi di Tiongkok demi kemajuan dan kemakmuran Indonesia.

Berikut petikan percakapan LAMBERTUS HUREK dengan Lily Yoshica di ITCC-Jawa Pos, Graha Pena Lantai 7, Surabaya, pekan lalu.

Bisa diceritakan latar belakang berdirinya ITCC Surabaya?

Begini. ITCC ini terinspirasi oleh semangat Menteri BUMN Bapak Dahlan Iskan, waktu itu CEO Jawa Pos Group, yang sangat antusias belajar bahasa Mandarin di usia yang tidak muda lagi. Pak Dahlan juga punya semangat yang besar untuk mengusahakan pembauran antara etnis Tionghoa dengan bumiputra dengan program Tekad Sayang di Surabaya. Program ini mendapat sambutan yang sangat baik dari masyarakat.
Nah, pada tahun 2011 dibentuk yayasan pendidikan bahasa Mandarin pertama di Surabaya. Sebab, kami menyadari bahasa bahasa Mandarin makin lama makin dibutuhkan sebagai jembatan komunikasi antara Indonesia dan Tiongkok. Di era globalisasi ini kemampuan bahasa Inggris saja tidak cukup. Apalagi dalam beberapa tahun terakhir, Tiongkok makin berpengaruh dalam ekonomi global. Dan, itu berarti bahasa Mandarin semakin diperlukan oleh orang Indonesia.

Pak Dahlan rupanya jadi inspirasi bagi ITCC dalam mempromosikan bahasa Mandarin di Jawa Timur dan Indonesia umumnya?

Betul sekali. Pak Dahlan Iskan sudah membuktikan bahwa bahasa Mandarin itu bisa dipelajari siapa saja dengan latar belakang apa pun. Pak Dahlan itu asli Jawa, seorang santri, tidak punya latar belakang Tionghoa, tapi akhirnya bisa menguasai bahasa Mandarin. Maka, Pak Dahlan selalu kami jadikan inspirasi ketika turun ke pesantren-pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan Islam di Jawa Timur.

Selain mengadakan kursus bahasa Mandarin, program apa lagi yang diselenggarakan ITCC?

Cukup banyak. Kami juga membantu siswa yang ingin melanjutkan pendidikan ke Tiongkok dan Taiwan. Sebelumnya, mereka lebih dulu digembleng di ITCC agar menguasai bahasa Mandarin tingkat dasar serta pengenalan tradisi dan budaya Tiongkok. Dengan begitu, mereka tidak akan kesulitan belajar di negara yang berbeda bahasa, budaya, tradisi, iklim, hingga makanannya. Syukurlah, belakangan ini program ini makin diminati para siswa di Jawa Timur. Antusiasme para pelajar kita untuk belajar di Tiongkok sangat besar.

Kami juga melayani program studi banding atau student exchange sekolah-sekolah di Jawa Timur. Rombongan siswa kita tidak hanya berwisata, melancong, tapi ikut merasakan suasana belajar di Guangdong atau provinsi lain di Tiongkok. Kebetulan kami punya perjanjian kerja sama dengan beberapa sekolah dan perguruan tinggi di sana, sehingga program studi banding ini sangat efektif. Biayanya tidak mahal, tapi manfaat yang didapat pelajar-pelajar kita sangat banyak.

Bagaimana dengan pelatihan guru-guru bahasa Mandarin?

Yah, itu juga menjadi perhatian kami dalam beberapa tahun terakhir. Sebab, harus diakui bahwa pembelajaran bahasa Mandarin di sekolah-sekolah di Indonesia masih tergolong baru. Setelah reformasi (1998) memang ada antusiasme untuk belajar bahasa Mandarin dan budaya Tionghoa. Namun, di sisi lain kita sangat kekurangan guru-guru bahasa Mandarin karena selama 32 tahun tidak ada pelajaran bahasa Mandarin. Kita benar-benar harus mulai dari nol.

Karena itu, kami sering mengadakan pelatihan guru-guru bahasa Mandarin di Jawa Timur. Tim dari ITCC, yang semuanya lulusan Tiongkok dan Taiwan, turun langsung ke beberapa kota untuk memberikan pelatihan kepada guru-guru bahasa Mandarin. Paling tidak mereka bisa menjadi pelopor pembelajaran bahasa Mandarin di sekolah masing-masing. Kita harus mulai dengan memanfaatkan potensi tenaga pendidik yang ada di sekolah-sekolah.

Apakah sekolah-sekolah di Jawa Timur sudah punya guru bahasa Mandarin?

Masih sangat sedikit yang punya. Hampir semua sekolah tidak punya guru bahasa Mandarin. Kita belum bicara soal kualitas atau kompetensi mengajar mereka. Yang paling penting bagi ITCC adalah kemauan mereka untuk belajar. Maka, pelatihan guru-guru itu tidak harus guru yang sudah bisa bahasa Mandarin. Guru apa saja silakan ikut asalkan punya kemauan untuk belajar bahasa Mandarin, kemudian diajarkan lagi kepada anak didiknya. Syukurlah, sistem pelatihan seperti ini bisa membantu mengatasi kelangkaan guru-guru bahasa Mandarin di Jawa Timur.

Apakah guru-guru itu harus membayar biaya pelatihan?

Tidak. Tim laoshi (guru) justru dengan senang hati datang untuk memberikan kursus bahasa Mandarin secara cuma-cuma. Bagaimanapun juga ITCC ini juga punya misi sosial. Misi untuk membantu mengembangkan bahasa Mandarin di Indonesia, khususnya Jawa Timur. Inilah yang membedakan ITCC dengan kursus-kursus bahasa Mandarin yang lain. Misi kami adalah ikut membantu pemerintah dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Indonesia dalam bidang pendidikan dan pengajaran bahasa Mandarin.

Kalau tidak salah, ITCC bersama Menteri BUMN Dahlan Iskan belum lama ini melepas puluhan mahasiswa Jawa Timur ke Tiongkok. Itu program apa?

Program beasiswa ke berbagai perguruan tinggi di Tiongkok dan Taiwan. Seluruhnya ada 60 orang. Dari 60 orang ini, hanya 15 orang yang keturunan Tionghoa. Sebagian besar pelajar yang diberangkatkan Pak Dahlan Iskan itu berasal dari pesantren dan sekolah-sekolah Islam. Di antaranya, empat santri Pesantren Lirboyo (Kediri), enam santri Pesantren Nurul Jadid (Paiton, Probolinggo), dan sembilan alumni SMA Nahdlatul Ulama Gresik.

Mereka kuliah di kota mana saja?

Ada yang di Zhejiang University of Technology, Taiwan Shoufu University, kemudian ada juga yang diterima di Chongqing dan Hangzhou. Beberapa mahasiswa sudah belajar dua tahun di Surabaya, kemudian menambah dua tahun lagi di Tiongkok. Sistem 2 + 2 (two plus two) ini cukup populer di Tiongkok. Kami juga sudah menjalin memorandum of understanding dengan perguruan tinggi di Guangzhou, Tianjin, Zhejiang, Beijing, Harbin, Shanghai, dan Xiamen.

Bagaimana ITCC bisa dipercaya sekian banyak universitas di Tiongkok dan Taiwan, khususnya dalam program beasiswa?

Ini membutuhkan kerja keras, pendekatan, dan komunikasi selama bertahun-tahun. Universitas-universitas di Tiongkok dan Taiwan itu sejak dulu memang menyiapkan fasilitas beasiswa. Tapi kesempatan itu diberikan secara sangat selektif. Syukurlah, ITCC mendapat kepercayaan dari berbagai universitas di Tiongkok dan Taiwan untuk mengirim para pelajar kita agar bisa menikmati pendidikan di sana. Apalagi, sudah banyak alumni kita yang berhasil menyelesaikan kuliah dengan gemilang, kemudian pulang dan mengembangkan kariernya dengan baik. (rek)

Lily bersama Konjen RRT Wang Huagen.



CV SINGKAT

Nama :  Lily Yoshica
Tempat/Tanggal Lahir :  Madiun, 29 Juni 1972
Hobi :  Travelling dan Membaca
Suami : Wagianto Redjo
Anak : 3  (Janice Brillianda, Regita Jessy G., Jensen Kriston Redjo)

Pendidikan :
· SD St Maria, Madiun, 1979-1985
· SMPK St Yusuf, Madiun, 1985-1988
· SMA St. Bonaventura, Madiun, 1988-1991
· Universitas Widya Mandala, Jurusan Sekretaris, 1991–1994

Aktivitas :
- Director of Indonesia Tionghoa Culture Centre
- Sekretaris IPINAT (Ikatan Pelajar Indonsia Alumni Tiongkok )

Award :
- School Orientation and Teacher Exchange at Oriental Pearl School Guangzhou, 2011
- Speaker in Exploring Culture and Economic System of China at Guangdong University of Science and Technology, 2012

Dimuat di RADAR SURABAYA edisi Minggu, 17 November 2013

0 Response to "Lily Yoshica GM Indonesia Tionghoa Culture Centre "

Posting Komentar